Bisnis.com, JAKARTA - Pada bulan Januari 2015, nilai tukar rupiah rerata mengalami pelemahan sebesar 1,21% (mtm) ke level Rp12.581 per dolar AS.
Pada triwulan IV tahun 2014, rerata nilai rupiah mengalami pelemahan sebesar 3,9% (qtq) ke level Rp12.244 per dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengatakan tekanan rupiah di bulan Januari tersebut sejalan dengan terus berlangsungnya penguatan dolar Amerika.
"Ini akibat rencana ECB [European Central Bank] melakukan kebijakan pelonggaran moneter yang diikuti sejumlah negara. Selain itu, semakin solidnya perekonomian AS mendorong penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia," ujarnya saat konferensi pers di Gedung BI, Selasa (17/2/2015).
Agus menambahkan pergerakan nilai tukar ini mendukung perbaikan defisit transaksi berjalan melalui penurunan impor barang konsumsi dan peningkatan daya saing ekspor manufaktur.
Sepanjang 2014, defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 2,95% atau US$ 26,23 miliar atau menurun dari tahun 2013 yang senilai Rp29,11 miliar atau 3,18% terhadap PDB.
"Kami akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat mendukukung stabilitas makro ekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat," tutur Agus.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai menguatnya nilai mata uang dolar sehingga membuat nilai rupiah melemah masih dalam tahap wajar.
"Kemarin dolar menguat dan berdampak pada seluruh dunia, termasuk mata uang Eropa, Jepang mata uang yen, Korea Won. Bahkan mata uang Korea, won, lebih besar dibandingkan rupiah," katanya.
Selama transaksi masih mengalami defisit dan adanya kenaikan tingkat suku bunga Amerika, lanjut Mirza, maka akan menyebabkan nilai mata uang dolar menguat sehingga lemahnya nilai mata uang rupiah merupakan situasi yang wajar.
"Rupiah menggambarkan fundamental ekonomi Indonesia. Ini masih wajar kalau nilai rupiah kita melemah," katanya.
Menurutnya, pelemahan nilai mata uang rupiah akan berdampak positif pada ekspor Indonesia.
"Tahun lalu, nilai ekspor manufaktur kita naik 7%. Padahal batu bara, kelapa sawit turun. Kita akan selalu ada di pasar," ucap Mirza.