Bisnis.com, JAKARTA – Emisi obligasi korporasi berdenominasi valuta asing diyakini melambat hingga akhir tahun ini akibat risiko kenaikan cost of fund dan nilai tukar seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat dan tren pelemahan rupiah.
Menurut data yang dihimpun Bisnis, penerbitan obligasi korporasi berdenominasi dolar Amerika Serikat sepanjang 7 bulan pertama tahun ini mencapai US$6,2 miliar atau sekitar Rp62 triliun.
Emisi pada periode tersebut melonjak 36,2% dibandingkan dengan pencapaian pada Januari-Juli 2012 senilai US$4,5 miliar atau sekitar Rp45 triliun, melebihi realisasi keseluruhan pada tahun lalu senilai US$6,04 miliar.
Perusahaan pelat merah PT Pertamina (Persero) tercatat menerbitkan global bond dengan nilai paling besar yakni US$3,25 miliar atau setara Rp32,5 triliun, naik 30% dibandingkan dengan realisasi pada periode sama tahun lalu US$2,5 miliar.
Pada tahun ini, Pertamina menawarkan dua seri global bond, yakni seri pertama senilai US$1,625 miliar dengan kupon 4,30% dengan masa tenor 10 tahun, dan seri kedua senilai US$1,625 miliar dengan kupon 5,625% dan masa tenor 30 tahun.
Baru-baru ini, PT Multipolar Tbk menerbitkan global bond senilai US$200 juta dengan tingkat kupon 9,75% bertenor 5 tahun melalui anak usahanya yang berbasis di Singapura yakni Pacific Emerald Pte Ltd.
Sekretaris Perusahaan Multipolar Chrysologus R.N. Sinulingga menuturkan dana hasil penerbitan obligasi tersebut akan digunakan untuk membayar sisa utang pokok perseroan kepada PT Bank Negara Indonesia (Persero) dan PT Bank CIMB Niaga Tbk senilai US$165 juta.
Selain itu, dana tersebut akan dipakai untuk membiayai akun cadangan utang atau debt service reserve account yang dibuka terkait dengan kewajiban pembayaran bunga 6 bulan atas nilai pokok obligasi, sementara sisanya untuk kebutuhan perseroan dan anak usaha.
Berdasarkan catatan Bisnis, beberapa perusahaan yang berencana menerbitkan obligasi global a.l. PT Sarana Menara Nusantara Tbk senilai US$750 juta, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia senilai US$750 juta, dan PT Star Energy Geothermal senilai US$350 juta.
BUKAN WAKTU TEPAT
Fakhrul Aufa, analis obligasi PT Pemeringkat Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA), menuturkan semester kedua tahun ini bukan merupakan waktu yang tepat bagi emiten utuk menerbitkan global bond.
“Ada dua risiko utama yang harus diperhatikan, yakni dari sisi kupon dan risiko nilai tukar karena rupiah terus melemah,” ujarnya, Jumat (17/8/2013).
Dia menjelaskan kemungkinan besar investor asing akan meminta kupon lebih tinggi seiring tren kenaikan imbal hasil US Treasuries yang didorong sentimen positif Bank Sentral AS akan mengurangi stimulusnya.
Menurutnya, imbal hasil atau yield US Treasuries diperkirakan dapat menyentuh level 3% pada September sehingga obligasi korporasi berdenominasi dolar AS akan kurang menarik jika tidak diberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
Data Bloomberg memperlihatkan imbal hasil US Treasury bertenor 10 tahun pada penutupan perdagangan Jumat (16/8/2013) berada pada level 2,83%, meningkat 30 basis poin month on month.
I Made Adi Saputra, analis obligasi PT Nusantara Capital Securities, menuturkan kupon obligasi yang terlalu tinggi akan membebani emiten, apalagi saat ini banyak perusahaan yang kinerjanya terganggu akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini perusahaan juga tengah terbebani dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Dengan kondisi ini, cukup berisiko buat emiten. Pemerintah saja harus membayar kupon lebih mahal,” katanya.
Faktor kedua, lanjut Fakhrul, adalah risiko nilai tukar rupiah yang terus melemah. Dia mengungkapkan kemungkinan besar Bank Indonesia akan tetap menjaga rupiah pada level saat ini untuk mengurangi impor sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia menjelaskan perusahaan yang memiliki pendapatan dalam rupiah akan sangat terbebani karena harus membayar kupon dalam dollar sehingga membutuhkan biaya besar untuk melunasi kewajibannya tersebut. “Kecuali bagi emiten yang penghasilannya dalam dolar AS, tidak ada currency risk,” paparnya.
Saat ini, lanjutnya, perusahaan harus jeli untuk mengukur tingkat efisiensi untuk penerbitan global bond atau obligasi berdenominasi rupiah karena saat ini kondisi pasar obligasi domestik juga masih belum stabil.
Menurutnya, penerbitan obligasi korporasi berdominasi valas masih tetap ada, khususnya bagi perusahaan yang membutuhkan dana mendesak, tetapi tidak seramai pada 7 bulan pertama tahun ini.
“Ini juga strategi perusahaan menerbitkan lebih awal untuk mengantisipasi permintaan kupon lebih tinggi karena ada prediksi the Fed akan mengurangi stimulusnya,” ujarnya.