BISNIS.COM, JAKARTA—Harga batubara di Asia diperkirakan masih akan melemah setelah penurunan kuartalan terbesar dalam setahun di tengah permintaan yang stagnan dan meningkatnya pasokan dari Australia dan Indonesia, eksportir terbesar di dunia.
Wahyu Laksono, analis Megagrowth Futures, mengatakan harga komoditas energi saat ini sedang melemah, karena ada perlambatan ekonomi di China, salah satu konsumen terbesar, dan juga capital outflow atau pelarian modal dari emerging markets.
“Adapun membaiknya ekonomi AS yang mungkin menaikkan penggunaan energi ternyata tidak sesuai harapan, karena adanya capital outflow tersebut,” ujarnya pada Bisnis, Rabu (26/6/2013).
Menurut Wahyu, saat ini tidak ada perubahan outlook untuk harga batubara, karena secara fundamental kondisi masih sama dengan tahun lalu di mana pasokan terus naik dan permintaan stagnan. Juga adanya isu perusakan lingkungan hidup akibat penggunaan batubara tersebut.
“Secara teknikal, setelah menembus level US$84 per ton, batubara gagal untuk mencapai US$100 hingga saat ini. Level support berada di US$70 dan US$75, sementara saat ini masih berkonsolidasi di area US$80. Sementara level resisten berada di US$90 per ton,” kata Wahyu pada Bisnis, Rabu (26/6).
Menurut UBS AG, barga bahan bakar pembangkit listrik tersebut mungkin diperdagangkan antara US$80 dan US$90 per ton untuk sisa tahun ini di pelabuhan Newcastle, Australia, patokan kelas Asia.
Sementara Bank of America Corp memperkirakan rata-rata US$86 per ton tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar US$92. Data dari IHS McCloskey menunjukkan, harga batubara telah turun 7,5% menjadi US$81,20 per ton pada kuartal kedua, terbesar sejak 3 bulan yang berakhir Juni 2012.
Data yang dikumpulkan oleh UBS menunjukkan, persediaan diperkirakan akan meningkat setidaknya 30 juta ton setelah tambang baru mulai beroperasi tahun ini. Sementara menurut CIMB Group Holdings Bhd, sekitar 15% dari batubara Australia diekstraksi ketika harga jatuh di bawah US$90 per ton.
Daniel Hynes, kepala strategi komoditas CIMB yang berbasis di Sydney, mengatakan, pasar telah dipengaruhi oleh kelebihan pasokan, terutama dari Indonesia, Australia dan Amerika Serikat. Dia memprediksi harga akan naik menjadi US$95 per ton pada akhir tahun.
"Untuk beberapa bulan ke depan, sepertinya hal ini akan tetap relatif lemah. Masih ada sedikit risiko penurunan untuk harga," katanya seperti dikutip di Bloomberg (26/6).