BISNIS.COM, JAKARTA — Saat IHSG mencetak rekor baru di level 5.089,34, Rabu (8/5/2013), performa rata-rata saham emiten agrikultur terus menunjukkan pelemahan, terkoreksi 11,51% secara year to date 2013, terburuk dari rapor 9 indeks sektoral lainnya.
Bahkan, saham pendatang baru di sektor itu PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANTJ) ditutup melemah Rp10 (0,83%) dari Rp1.200 ke Rp1.190 pada hari pencatatan perdananya di Bursa Efek Indonesia.
Koreksi dini harga ANTJ itu dinilai sejumlah analis sebagai potret persepsi pelaku pasar yang masih memelihara sentimen negatif akibat penurunan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang terus berlanjut sejak tahun lalu.
Analis PT Trust Securities Reza Priyambada menilai IPO Austindo diapresiasi pelaku pasar sebagai ajang ambil untung sesaat, setelah sahamnya sempat menyentuh level terbaik Rp1.280 dalam hitungan jam. Menurutnya, investor tidak yakin saham ANTJ akan bergerak naik lebih baik dari level tersebut.
“ Harusnya, penurunan return indeks agrikultur bisa menjadi patokan untuk perusahaan sawit yang akan IPO, jika mereka memang peduli dengan pergerakan saham, bukan hanya inisiatif menggalang dana,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu (8/5/2013).
Austindo melepas 333,35 juta lembar saham ke publik, atau 10% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO. Volume itu berkurang dari semula 23%, setelah pemetaan manajemen menunjukkan minimnya agresivitas investor yang berminat memiliki saham perseroan.
Awalnya, perusahaan milik keluarga Tahija itu menargetkan dana hasil IPO sebesar Rp1,12 triliun-Rp1,69 triliun dengan penawaran saham perdana pada kisaran harga Rp1.200-Rp1.800. Namun, target itu kemudian dikuras cukup dalam hingga Rp407 miliar.
Fridian Warda, Analis Indosurya Asset Management menilai situasi fundamental pasar perkebunan memang belum menguntungkan. Hal itu ditunjang merosotnya permintaan CPO di sejumlah negara berkembang seperti India dan Cina.
Situasi itu cukup menekan kinerja mayoritas emiten produsen CPO yang mencatatkan penurunan laba bersih pada kuartal I 2013. Fridian memprediksi investor akan menghindari saham-saham emiten produsen CPO setidaknya dalam jangka waktu pendek dan menengah.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal I 2013, emiten CPO yang paling menderita koreksi laba bersih yakni PT Gozco Plantations Tbk (GZCO), anjlok 89,5% menjadi Rp3,5 miliar dari capaian periode yang sama 2012 senilai Rp33,6 miliar.
Tak kalah mengenaskan, 2 produsen CPO milik Grup Salim yakni PT Salim Invomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT PP London Sumatera mencatat koreksi laba bersih 79,7% dan 66,4%. Salim Ivomas hanya mendulang laba Rp103,4 miliar, sementara Lonsum meraih Rp101 miliar.
Selanjutnya, laba bersih PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) juga turun 62,51% menjadi Rp 22,99 miliar. PT BW Plantation Tbk (BWPT) yang tergolong prospektif karena menyimpan cadangan lahan sawit produktif juga terpleset 56% menjadi Rp36 miliar dari Rp82 miliar, kemudian diikuti PT Jaya Agra Wattie Tbk (JAWA) yang laba bersihnya terperosok 36,51% menjadi Rp 28,3 miliar.
Di posisi berikutnya, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) mencatatkan penurunan laba bersih 30,65% menjadi Rp77,04 miliar. Di antara emiten sawit, laba bersih PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) terkoreksi paling tipis, yakni 5,69% menjadi Rp356,36 miliar.
Menanggapi rapor negatif sektor agrikultur, Direktur Utama Austindo Suwito Anggoro tak khawatir selama perseroan mampu mempertahankan tren peningkatan produksi dan penjualan. Tahun ini, Austindo menargetkan produksi CPO capai 180.000 ton.
Saat ini, harga CPO yang diproduksi Austindo dihargai pasar di level Rp6.800 per kilogram. Harga CPO diproyeksi terus bergerak fluktuatif dan mencapai level tertinggi pada kuartal III/2013 pada kisaran RM 2.200—RM 2.300.
“Rata-rata stok produksi mulai menurun, sementara permintaan akan naik menjelang Lebaran. Harga akan membaik,” ujar Suwito yakin.
Suwito menargetkan kinerja perseroan tahun ini tumbuh rata-rata 12%. Per 31 Desember 2012, perseroan meraih laba bersih US$93,3 juta, naik 88,9% dari capaian tahun sebelumnya US$49,4 juta.
Pendapatan perseroan meningkat 12,3% dari US$ 165,06 juta menjadi US$185,32 juta. Sebagian besar pendapatan diperoleh dari segmen usaha inti penjualan CPO, dan menanti kontribusi bisnis sagu dan listrik.
Austindo akan menggelar sejumlah ekspansi bisnis tahun ini termasuk mengakuisisi perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 hektare, serta melakukan penanaman baru di lahan 5.500 hektare. Ongkos penanaman ditaksir membutuhkan investasi US$5.000 per hektare.
“Dalam 3 tahun, target penanaman bisa mencapai 19.000 hektare,” terangnya.
Perseroan juga tengah melebarkan sayap ke bisnis budidaya sagu di Papua. Selain itu, diversifikasi usaha akan diperluas dengan mencoba peruntungan dengan membangun proyek pembangkit listrik biogas di Sumatra Utara berkapasitas 1,2 megawatt. (dot)