BISNIS.COM, JAKARTA-Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) minta pemerintah turun tangan membantu geliat bursa berjangka yang memperdagangkan produk kakao guna mendongkrak likuiditas dan menjadikannya sebagai referensi harga.
Ketua Umum Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan pihaknya segera akan mengirim surat kepada Kementrian Perdagangan terkait hal tersebut. "Nanti kami kirim surat kepada pemerintah. Askindo minta pemerintah mengeluarkan aturan agar pelaku di industri kakao untuk bertransaksi di bursa," katanya seusai acara Cocoa Gathering Makassar, Rabu (1/5/2013).
Acara yang rutin diselenggarakan oleh PT Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Future Exchange) itu bermaksud mendorong penggunaan harga di bursa lokal sebagai referensi bagi pelaku industri kakao. Selama ini para pelaku industri kakao dari level petani hingga perusahaan pengolahan, masih memakai patokan harga di bursa London dan New York.
Badan Pengawas Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebut penentuan harga di Indonesia masih disetir oleh pelaku pasar di luar negeri yang berposisi sebagai pembeli sehingga harga cenderung rendah.
Kepala Biro Analisis Pasar Bappebti Chrisnawan Triwahyuardhianto dalam sambutan yang dibacakan oleh Natalius Nainggolan mengatakan kehadiran produk kakao di bursa berjangka memberi nilai tambah bagi pelaku industri kakao.
Indonesia adalah produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan pertumbuhan per tahunnya mencapai 3,5%. Produsen terbesar pertama di dunia saat ini adalah Pantai Gading dengan produksi 1,67 juta ton, disusul oleh Ghana dengan 868.000 ton per tahun.
Data The International Cocoa Organization (ICCO) menunjukkan produksi kakao di Tanah Air pada 2011 mencapai angka 712.231 ton dan menyumbang 11% dari produksi dunia.
Pada 2012 produksi kakao nasional mengalami kenaikan 17% menjadi 833.310 ton dibandingkan pada tahun sebelumnya. Sulawesi Selatan merupakan penyumbang produksi terbesar dengan kontribusi 95.581 ton per tahun atau 27% dari total produksi nasional.