Selebrasi Hari Oeang ke-66 digelar di Kementerian Keuangan. Berbagai atribut bertuliskan frasa 'Dirgahayu ORI' menghiasi komplek Kemenkeu di kawasan Jl. Wahidin Jakarta Pusat. Hari Oeang memang dimaksudkan untuk merayakan penerbitan perdana uang Republik Indonesia pada 30 Oktober 1946.Selain memperingati penerbitan ORI, momen ini juga menjadi hari jadi Kementerian Keuangan RI. Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam sambutan Hari Oeang ke-66 berharap peringatan ini memacu pengelolaan keuangan negara yang profesional dan akuntabel."Oleh karena itu, 'Menggelorakan Semangat Pelayanan dengan Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan' dipilih menjadi tema peringatan Hari Keuangan ke-66 ini," ujarnya.
Gantikan Uang Jepang
Melongok sejarahnya, penerbitan ORI diinisiasi oleh Menteri Keuangan Alexander Andries Maramis pada 24 Oktober 1945. Saat itu A.A. Maramis, yang namanya diabadikan sebagai nama salah satu gedung Kementerian Keuangan, menginstruksikan pencarian tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern dan membentuk panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia.Setahun berselang, tepatnya pada 30 Oktober 1946, saat Menteri Keuangan dijabat Sjafruddin Prawiranegara, pemerintah menerbitkan emisi pertama uang kertas ORI. Beredarnya ORI secara resmi menggantikan mata uang Jepang, uang NICA, dan uang yang diterbitkan De Javasche Bank.Dalam perkembangannya, mata uang RI itu dinamai rupiah. Dalam bahasa Sansekerta, rupiah berarti perak yang ditempa atau dicetak. Dalam percaturan global, rupiah dikenal dengan kode IDR.Emisi perdana ORI dicetak berdenominasi Rp5, Rp10, dan Rp100. ORI Rp100 dicetak dengan warna hijau kebiruan dan menampilkan wajah Presiden pertama RI, Soekarno. Selanjutnya, Soekarno menjadi presiden RI yang wajahnya paling banyak terpampang di uang kertas yang diterbitkan Bank Indonesia.Banyak peristiwa penting yang terjadi pada rupiah seiring perkembangan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pemangkasan nilai uang (sanering) yang dilakukan untuk mengatasi hiper inflasi pada 1965. Saat itu, uang bernilai seribu rupiah dipangkas menjadi satu rupiah.
Pangkas Angka Nol
Beda tapi serupa, pertengahan 2010 lalu Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution melemparkan wacana untuk melakukan redenominasi rupiah. Wacananya, redenominasi rupiah dilakukan dengan menyederhanakan 3 angka nol dalam nilai rupiah saat ini. Uang Rp1.000, misalnya, akan diredenominasi menjadi Rp1.Namun, Darmin menegaskan redenominasi bukan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Alasannya, redenominasi tidak memangkas nilai uang, tetapi menyederhanakan nominalnya.Redenominasi, kata Darmin, perlu dilakukan karena pecahan uang Indonesia terlalu besar, sehingga menimbulkan inefisiensi dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Seiring era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Indonesia dinilai perlu mempersiapkan kesetaraan ekonomi yang dicerminkan melalui mata uangnya. Pasalnya, ada asumsi bahwa negara yang nilai mata uangnya yang terlalu besar adalah negara yang mengalami inflasi yang tinggi.Selain menghadapi redenominasi dan sanering, rupiah juga pernah tenggelam akibat krisis moneter Asia pada 1998 lalu. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjun bebas menyentuh level terendah Rp17.000/US$.Saat ini, tekanan eksternal akibat krisis utang Eropa dan lesunya ekonomi AS, kembali membuat rupiah terkoreksi. Dari level Rp9.000-an, rupiah bermanufer ke level Rp9.400--Rp9.600/US$. Deviasi yang relatif kecil itu tidak lain ditopang oleh cadangan devisa RI yang mantap bertengger di kisaran US$110 juta dan intervensi BI.Seolah menggambarkan wajah ekonomi Indonesia, rupiah telah teruji menghadapi sejumlah krisis. Sudah sepantasnya apresiasi diberikan. Mengutip lagu anak-anak era 90-an: aku cinta rupiah, walau dolar di mana-mana. Dirgahayu ORI!