Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah sukses menambah staminanya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pengujung perdagangan pekan ini, Jumat (23/11/2018), sekaligus menjadi yang terkuat di Asia.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir menguat 36 poin atau 0,25% di level Rp14.544 per dolar AS, setelah rebound dan ditutup terapresiasi 23 poin atau 0,16% di Rp14.580 per dolar AS pada perdagangan Kamis (22/11).
Penguatan rupiah mulai berlanjut ketika dibuka di level Rp14.541 per dolar AS dengan apresiasi 39 poin atau 0,27% pagi tadi. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak di level Rp14.513 – Rp14.557 per dolar AS.
Mengekor penguatan rupiah hari ini di Asia adalah ringgit Malaysia dan yen Jepang yang terapresiasi 0,13% dan 0,11% masing-masing terhadap dolar AS.
Namun nilai tukar mata uang lainnya justru melemah, dipimpin baht Thailand yang terdepresiasi 0,27% pada pukul 18.55 WIB.
Sementara itu, pergerakan indeks dolar AS yang melacak kekuatan greenback terhadap sejumlah mata uang utama terpantau berbalik ke teritori positif dengan kenaikan 0,145 poin atau 0,15% ke level 96,857 pada pukul 18.46 WIB.
Baca Juga
Sebelumnya indeks dolar dibuka dengan koreksi 0,205 poin atau 0,21% di level 96,507, setelah pada perdagangan Kamis (22/11) hanya mampu berakhir flat di posisi 96,712.
Dilansir dari Bloomberg, nilai tukar rupiah berhasil menguat saat mata uang lainnya di Asia diperdagangkan dalam kisaran sempit pada perdagangan terakhir pekan ini seiring dengan penantian investor atas pertemuan para pemimpin AS dan China bulan ini.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping direncanakan akan bertemu di sela-sela KTT G-20 di Buenos Aires, Argentina pada akhir bulan ini guna membahas perkembangan hubungan perdagangan antara dua negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia ini.
“Tidak ada banyak penggerak berarti mengingat hari libur Thanksgiving di AS,” kata Khoon Goh, kepala riset Asia di ANZ, Singapura.
“Pergerakan mata uang juga cenderung tetap di dalam rentang saat ini menjelang pertemuan Trump-Xi pekan depan. Pertemuan itu dapat memberikan katalis untuk langkah yang lebih besar tergantung pada hasilnya nanti.”
Baik pihak Trump dan Xi Jinping telah mengindikasikan kesiapan masing-masing untuk pertemuan kedua pemimpin di KTT G-20 yang akan dihelat pada 30 November-1 Desember.
Seperti diketahui, kedua negara telah terlibat dalam eskalasi perang dagang yang mulai berdampak lebih besar pada pasar keuangan dan pertumbuhan global.
Pada Kamis (22/11), Trump mengutarakan besarnya keinginan China untuk membuat kesepakatan setelah pemerintah AS memberlakukan tariff pada barang-barang senilai US$200 miliar asal China.
“China ingin membuat kesepakatan dan kami sangat senang. Saya sangat siap, saya sudah benar-benar mempersiapkannya,” tutur Trump, seperti dikutip Bloomberg.
Kemudian pada hari ini di Beijing, sejumlah pejabat tinggi China dikabarkan melakukan briefing tentang perjalanan kenegaraan Xi Jinping yang akan datang, termasuk kehadirannya di Buenos Aires.
“China berharap untuk bertemu AS dalam menyelesaikan isu-isu perdagangan. Kami melihat AS ingin mencapai kesepakatan demi menyelesaikan friksi perdagangan dengan China. China berharap untuk bekerja sama dengan AS untuk membendung perselisihan,” ujar Wakil Menteri Perdagangan Wang Shouwen di Beijing.
Namun di sisi lain, sebagian pelaku pasar terdengar pesimistis mengenai hubungan antara kedua negara bahkan jika para pemimpin AS dan China membuat progres dalam pertemuan G-20 nanti.
“Pasar menjadi berhati-hati menjelang pertemuan itu. [Kabar] pembatasan seputar Huawei telah meningkatkan kekhawatiran mengenai hubungan AS-China,” kata Linus Yip, pakar strategi di First Shanghai Securities.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan meminta sekutu-sekutu utamanya untuk meyakinkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi di negara mereka agar tidak menggunakan perangkat besutan Huawei Technologies Co.
Mengutip informasi sumber terkait yang identitasnya dirahasiakan, Wall Street Journal mengabarkan bahwa pejabat AS telah menghubungi mitra dan eksekutif di sejumlah negara termasuk Jerman, Italia, dan Jepang tentang risiko keamanan siber yang dirasakan.