Bisnis.com, JAKARTA - Saham-saham di AS yang berkapitalisasi kecil diperkirakan akan menghadapi tekanan jual pada perdagangan pekan ini, sehingga investor berebut mencari saham dan sektor yang lebih tangguh.
Saham-saham kecil, yang lebih bergantung pada kebijakan dan kondisi ekonomi AS, baru-baru ini mengalami penurunan di tengah keraguan bahwa Presiden Donald Trump dapat mewujudkan janji pro-bisnisnya seperti pemotongan pajak.
Setelah menguat pada akhir 2016, indeks Standard &Poor’s 600 yang terdiri dari emiten berkapitalisasi kecil telah turun 1,4% pada 2017, sementara indeks Russell 2000, yang mencakup perusahaan-perusahaan kecil, naik 1,4%.
Dengan indeks Russell 2000 dan S&P 600 bergerak di atas rata-rata, investor yang mengincar saham-saham kecil berhati-hati memilih langkah mereka.
"Ada banyak saham small-cap yang bernilai jika Anda dapat cermat memilihnya," kata St. Denis Villere III, manajer portofolio di Villere & Co, seperti dikutip Reuters.
Namun, beberapa analis bersikan bearish pada sektor saham kapitalisasi kecil secara keseluruhan, mengutip prospek pendapatan yang lebih kecil daripada emiten-emiten besar dan juga keraguan terhadap agenda Trump.
Terlebih lagi, saham-saham kecil akan menghadapi volatilitas yang tinggi dalam beberapa bulan mendatang karena anggota parlemen AS memperdebatkan isu-isu kontroversial seperti plafon utang.
“Perusahaan yang lebih kecil lebih beresiko daripada perusahaan besar yang terbuka secara internasional," menurut Michael Purves, Chief Global Strategist di Weeden & Co.
Sementara itu, mayoritas indeks utama AS naik tipis pada akhir perdagagan Jumat (25/8/2017) setelah Gubernur Federal Reserve Janet Yellen tidak berkomentar mengenai kebijakan moneter dalam pidato di Jackson Hole, Wyoming.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 30,27 poin atau 0,14% ke level 21.813,67, sedangkan indeks S&P 500 menguat 4,08 poin atau 0,17% ke 2.443,05 dan Nasdaq Composite turun 5,68 poin atau 0,09% ke 6.265,64.
Pidato Yellen pada pertemuan tahunan bank sentral global di Jackson Hole, Wyoming berfokus pada stabilitas keuangan dan tidak memberi petunjuk mengenai kebijakan moneter, sehingga prospek kenaikan suku bunga masih tinggi.
Dia mengatakan, bahwa reformasi moneter setelah krisis keuangan 2007-2009 telah memperkuat sistem keuangan, tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi memberikan sedikit kejelasan mengenai pengurangan kepemilikan obligasi dan globalisasi yang gemborkan untuk menghadapi proteksionisme.
"Jika ada hal yang dikhawatirkan dari Draghi dan Yellen, itu adalah sikap yang lebih hawkish terhadap kebijakan moneter," kata Jeffrey Cleveland, kepala ekonom Payden & Rygel.