Bisnis.com, JAKARTA--Harga tembaga mengalami tren menurun seiring dengan proyeksi bertumbuhnya pasokan dari sejumlah tambang raksana.
Pada penutupan perdagangan Selasa (21/3) di bursa London Metal Exchange (LME), harga tembaga turun 104 poin atau 177% menjadi US$5.776 per ton. Ini merupakan level terendah dalam sepekan terakhir.
Sepanjang tahun berjalan, harga bertumbuh 4,34%. Pada 2016, harga tembaga menguat 17,65%.
Andri Hardianto, analis Asia Trade Point Futures, menuturkan dalam waktu dekat harga tembaga terkoreksi akibat rencana pertemuan antara BHP Billiton dengan para pekerja di tambang Econdida, Cile, pada Rabu (22/3). Escondida merupakan tambang tembaga terbesar di dunia.
Pada akhir Januari lalu, pekerja di Escondida menolak nilai upah baru dan melakukan aksi mogok selama lima hari. Namun hingga kini, kesepakatan antara kedua belah pihak tidak juga mencapai titik temu.
Bedasarkan salinan dokumen dari BHP Billiton, produksi tembaga di tambang Escondida mengalami penurunan. Tingkat produksi pada Januari 2017 hanya mencapai 77.113 ton dari target sebesar 102.040 ton. Angka ini juga turun 16,81% year on year/yoy dari 92.700 ton pada Januari 2016 dan merosot 19,08% month on month/ mom dari 95.300 ton pada Desember 2016.
Baca Juga
Selain itu, pasar juga mengantisipasi penambahan pasokan dari tambang Grasberg di Papua, Indonesia. PT Freeport Indonesia (PTFI) selaku pengelola sudah mendapat jatah volume ekspor sebanyak 1,11 juta wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga. Namun, ekspor belum bisa dilakukan karena perusahaan enggan mengubah status perizinan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Berbeda dengan PTFI, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PTAMNT) yang mendapat kuota ekspor sebesar 675.000 WMT konsentrat tembaga bersedia mengubah perizinan menjadi IUPK.
Andri menambahkan, faktor lain yang menekan harga ialah bertambahnya suplai dari Peru, sebagai negara produsen kedua terbesar di dunia setelah Cile. Pada Januari 2017, produksi tembaga di Peru tumbuh 24,8% yoy.
"Faktor-faktor dari sisi suplai terutama menekan harga tembaga, di samping belum adanya informasi baru mengenai jumlah konsumsi," tuturnya saat dihubungi Bisnis.com, Rabu (22/3/2017).
Salah satunya faktor penekan harga dari sisi permintaan ialah belum jelasnya kebijakan Presiden AS Donald Trump yang akan menggenjot proyek infrastruktur. Sebelumnya Trump berjanji menggelontorkan dana hingga US$1 triliun untuk pembangunan infrastruktur, terutama sarana transportasi.
Dalam jangka harian, harga tembaga dapat didorong oleh pelemahan dolar AS. Lesunya greenback membuat pembeli yang menggunakan mata uang lain mendapatkan harga yang lebih murah.
Pada perdagangan Rabu (22/3) pukul 17:55 WIB, indeks dolar meningkat 0,01% atau 0,014 poin menuju 99,82. Indeks cenderung melemah setelah The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menuju 0,75%-1% pada Rabu (15/3).
Dalam waktu dekat, indeks mengalami pelemahan karena sentimen dovish yang disampaikan para pejabat Federal Reserve. Presiden Federal Reserve Chicago Charles Evans mengemukakan bank sentral AS tidak akan mempercepat laju kenaikan suku bunga mengingat laju inflasi AS yang belum meningkat. Sementara Presiden The Fed Minneapollis Neel Kashkari juga mengatakan tidak akan bersikap terburu-buru dalam menaikkan Fed Fund Rate (FFR).
Dolar AS juga melemah karena kekhawatiran investor terhadap janji-janji Donald Trump. Sang presiden perlu berusaha keras untuk merealisasikan kebijakan-kebijakannya yang pro pertumbuhan, seperti rencana pemotongan pajak.
Dalam sepekan ini, memang cukup banyak pidato dari pejabat The Fed yang diperkirakan memberikan sinyal terhadap kebijakan FFR. Agenda yang paling ditunggu ialah pidato Gubernur The Fed Janet Yellen pada Kamis (23/3).
Menurut Andri, sambil memantau pergerakan indeks dolar AS, pasar aka tertuju kepada pertemuan di Econdida, dan kelanjutan sikap PTFI dengan pemerintah Indonesia. Sampai akhir Maret 2017, harga tembaga akan bergerak di dalam rentang US$5.500-US$6.200 per ton.