Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

2017, Pefindo Sematkan Outlook Stabil untuk 5 Sektor Ini

PT Pemeringkat Efek Indonesia memproyeksi perekonomian Indonesia akan melaju pada kisaran 4,9%-5,1% pada 2017 dengan outlook stabil bagi industri yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, kontruksi, properti, bank, dan pembiayaan. n
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA--PT Pemeringkat Efek Indonesia memproyeksi perekonomian Indonesia akan melaju pada kisaran 4,9%-5,1% pada 2017 dengan outlook stabil bagi industri yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, kontruksi, properti, bank, dan pembiayaan.

Ekonom Pefindo Ahmad Mikail menuturkan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun depan akan ditopang oleh stabilitas konsumsi rumah tangga yang didukung oleh tingkat inflasi yang masih cukup rendah dan terjaga.

"Investasi dari sektor privat diharapkan tumbuh kuat seiring dengan perbaikan infrastruktur, stabilitas makroekonomi, dan peningkatan efektivitas pemerintah," tulisnya dalam riset yang dikutip Rabu (21/12/2016).

Menurutnya, ekspor dan impor diharapkan mulai tumbuh dalam area positif karena kontraksi selama beberapa periode terakhir dinilai sudah cukup dalam.

Proyeksi Pefindo sejalan dengan perkiraan pemerintah dan sejumlah lembaga keuangan lainnya. Pada 2017, pemerintah memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,1%. Adapun proyeksi IMF sebesar 5,3%, Bank Dunia 5,3%, dan konsensus Bloomberg sebesar 5,2%.

Mikail menuturkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sedikit terakselerasi ke level 5% menjaga stabilitas outlook industri yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, kontruksi, properti, bank, dan pembiayaan.

Perusahaan kebun sawit, ujarnya, punya outlook stabil seiring permintaan produk CPO dan turunannya masih terus tumbuh seiring besarnya jumlah penduduk Indonesia dan terus bertumbuhnya permintaan dari sektor industri.

"Opitmalisasi pengelolaan kebun dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi yang maksimal di tengah moratorium ekspansi lahan kelapa sawit yang diberlakukan pemerintah," tuturnya.

Adapun stabilitas sektor konstruksi ditopang oleh kenaikan permintaan pembangunan infrastruktur dari APBN 2017 dan dukungan regulasi pemerintah yang mendukung percepatan pembangunan infrastruktur.

Menurut Mikail, risiko sektor konstruksi berasal dari kegagalan diversifikasi ke bisnis non-konstruksi. Utamanya, akibat beralihnya perusahaan konstruksi dari pelaksana pembangunan proyek menjadi pemilik proyek. Akibatnya, emiten akan terpapar risiko-risiko, seperti rendahnya nilai pengembalian investasi, dan masalah arus kas akibat proyek yang belum memasuki fase operasi.

"Industri properti masih penuh tantangan tahun depan, penurunan permintaan masih berlanjut. Kami juga liha leverage tinggi pada sebagian pemain karena utang besar untuk menyelesaikan proyek," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper