Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menetapkan tarif impor sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia memunculkan dampak yang beragam terhadap pasar modal domestik. Sejumlah saham diproyeksi akan terdampak negatif akibat ketergantungan ekspor ke pasar AS, namun di sisi lain, ada pula sektor-sektor yang dinilai tetap berpotensi mencatat kinerja positif sepanjang 2025.
Dari sisi tekanan, Head of Equity Research Liza Camelia dalam risetnya berjudul “Tarif Trump 32%: Strategi Indonesia Hadapi Proteksionisme AS” mengidentifikasi sedikitnya 14 saham yang memiliki eksposur ke AS, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Langkah ini berpotensi mengganggu kinerja sektor ekspor nasional dan menekan profitabilitas sejumlah sektor strategis,” kata Liza dalam risetnya, dikutip Rabu (9/7/2025).
Saham dari sektor tekstil dan garmen menjadi salah satu yang paling rentan. PT Trisula Textile Industries Tbk. (BELL) dan PT Eratex Djaja Tbk. (ERTX), misalnya, masing-masing memiliki eksposur ekspor ke pasar AS sebesar 20–30%. Liza memperkirakan kedua saham ini berpotensi mengalami penyusutan laba bersih sebesar 10–15%.
Pasalnya, penerapan tarif tinggi terhadap Indonesia membuat posisi Indonesia sebagai eksportir tekstil dan garmen tergeser oleh Vietnam, yang hanya dikenai tarif 20%.
Tekanan serupa juga menghantui saham PT Tifico Fiber Indonesia Tbk. (TFCO) dan PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY). Kedua emiten yang menjual sekitar 30% ekspornya ke AS ini diproyeksikan mengalami penurunan pendapatan 20–30%.
Baca Juga
Dari sektor consumer goods, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO), meskipun eksposur ke AS masih di bawah 10%, tetap menghadapi potensi perlambatan pertumbuhan ekspor tahunan.
“Gangguan ekspor pada segmen suplemen dan consumer health bisa menahan pertumbuhan ekspor tahunan SIDO di bawah 5%,” kata Liza.
Saham PT Mayora Indah Tbk. (MYOR) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) juga tak luput dari risiko. Eksposur ekspor MYOR ke AS mencapai sekitar 20%, sedangkan ICBP sekitar 15%. Keduanya dinilai rentan kehilangan pangsa pasar akibat tekanan harga.
Sektor agribisnis pun turut waspada. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) meski ekspornya ke AS di bawah 10%, tetap bisa terdampak dari sisi rantai pasok industri peternakan nasional.
“Meski ekspor langsung ke AS relatif kecil, kurang dari 10%, risiko tarif berdampak ke rantai pasok agribisnis RI secara lebih luas, terutama untuk value-added poultry,” tambah Liza.
Adapun sektor energi, terutama nikel, juga dibayangi sentimen negatif. Saham PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Trimegah Bangun Persada Tbk. (NCKL), PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), dan PT Merdeka Battery Materials Tbk. (MBMA) diproyeksi mengalami tekanan akibat kemungkinan pengalihan rantai pasok baterai EV AS ke negara non-BRICS.
“Tarif dapat memicu AS menurunkan ketergantungan pada rantai pasok Indonesia, khususnya untuk nickel downstream,” kata Liza.
Sektor kesehatan seperti PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) juga menghadapi potensi pembatasan ekspansi di pasar diaspora AS, meskipun kontribusi ekspor ke negara tersebut masih di bawah 5%.
Liza menyarankan beberapa langkah mitigasi, seperti diversifikasi pasar, membangun fasilitas produksi di luar negeri, hingga membentuk aliansi strategis dengan perusahaan AS. Contohnya, ANTM dan NCKL direkomendasikan menjalin kemitraan jangka panjang dengan produsen EV global seperti Tesla dan Ford.
Sejumlah sektor seperti SIDO, MYOR, CPIN, ICBP, JAPFA, dan KLBF juga disarankan memperluas penetrasi ke pasar non-AS sebagai strategi jangka menengah.
Pada sektor tekstil, diversifikasi pasar serta kerja sama dengan joint venture lokal dipandang bisa menjadi tumpuan penguatan di tengah tekanan tarif.
Sektor Saham Masih Punya Peluang Bertumbuh
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan menilai bahwa meskipun tarif tinggi adalah kabar buruk bagi sebagian emiten, ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu.
“Sektor-sektor seperti infrastruktur, logistik, konstruksi, dan industrial berpotensi menjadi penerima manfaat dari rotasi kebijakan fiskal tersebut, baik dari sisi aliran dana proyek pemerintah maupun insentif regulasi,” ujarnya, Rabu (9/7/2025).
Ekky menambahkan, arah penurunan suku bunga dan kebijakan pro-lingkungan turut menjadi katalis untuk sektor energi terbarukan, properti, dan perbankan. Emas juga tetap menjadi instrumen lindung nilai (safe haven) yang dapat menguntungkan emiten tambang emas di tengah ketidakpastian global.
Namun demikian, dia mengingatkan bahwa dampak tarif AS juga bisa menyebar ke sektor domestik yang tak secara langsung terkait ekspor, akibat pelemahan ekonomi global.
“Di sisi lain, sektor-sektor domestik yang tidak terlibat langsung bisa tetap terdampak secara tidak langsung akibat pelemahan ekonomi global yang dipicu oleh eskalasi tensi dagang,” katanya.
Meski demikian, Ekky masih mempertahankan target IHSG 2025 di level 7.622 karena menurutnya pasar sudah memperkirakan skenario ini sebelumnya.
“Selain itu, dampaknya terhadap PDB Indonesia juga diperkirakan relatif minim, kontribusinya hanya sekitar 2%, sehingga belum menjadi risiko sistemik bagi ekonomi secara keseluruhan,” kata Ekky.
Dari sisi teknikal, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyebut bahwa peluang tetap terbuka dengan asumsi diplomasi dagang berhasil meredam eskalasi.
“Yang terpenting sih diplomasi untuk mencegah terjadinya kenaikan tensi geopolitik,” ujarnya.
Nafan merekomendasikan sejumlah saham untuk accumulative buy di 2025, seperti BBNI (Rp4.430), BBRI (Rp3.880), BMRI (Rp5.275), dan BBCA (Rp9.200). Untuk sektor konstruksi dan infrastruktur, saham seperti JSMR (Rp3.990), PTPP (Rp428), TLKM (Rp1.935), dan WIFI (Rp2.780) juga masuk radar.
Terakhir, Nafan merekomendasikan beli saham PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN) dengan target harga Rp12.175.
_________
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.