Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengembalikan Rencana Kerja dan Angaaran Biaya (RKAB) perusahaan tambang menjadi setiap satu tahun, dari saat ini setiap tiga tahun. PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) menyampaikan akan mengikuti dan mematuhi regulasi pemerintah.
Corporate Secretary Bukit Asam Niko Chandra mengatakan PTBA akan mengikuti dan mematuhi regulasi dari pemerintah jika pemerintah ingin mengembalikan masa berlaku RKAB dari tiga tahun menjadi satu tahun.
“Kami akan memastikan bahwa setiap rencana produksi dapat tetap berjalan efisien dan optimal, dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan dan kepatuhan terhadap regulasi,” kata Niko, Kamis (10/7/2025).
Dengan RKAB tahunan, lanjutnya, PTBA tentu akan melakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh, serta menyesuaikan proses perencanaan produksi dan operasional agar lebih agile dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar serta regulasi.
Niko juga menuturkan PTBA akan memastikan bahwa setiap rencana investasi jangka panjang yang dilakukan perusahaan tetap selaras dengan kerangka RKAB tahunan yang baru.
“Selain itu, kami terus menjaga kinerja operasional dan finansial perusahaan agar tetap stabil di tengah dinamika kebijakan yang ada,” tuturnya.
Sebagai informasi, wacana mengembalikan penerbitan RKAB minerba menjadi 1 tahun sekali merupakan usulan Komisi XII DPR RI. Usulan itu disampaikan langsung kepada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam Rapat Kerja pada Rabu (2/7/2025).
Gayung bersambut, Bahli juga merasa sependapat dengan anggota dewan, karena menurutnya kondisi pasar minerba, khususnya batu bara global yang buruk belakangan ini.
"Jadi menyangkut RKAB, memang kalau kita membuat 1 tahun, nanti dikirain kita ada main-main lagi. Tapi karena ini sudah menjadi keputusan politik, makanya kita lakukan. Tapi mulai hari ini dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, kami terima usulan dari Komisi XII untuk kita buat RKAB per tahun," ucap Bahlil.
Bahlil juga menjelaskan saat ini jumlah batu bara yang diperjualbelikan di pasar global mencapai 1,2 miliar hingga 1,3 miliar ton per tahun, sementara Indonesia memproduksi 600 juta hingga 700 juta ton per tahun.
Artinya, lebih dari 50% penjualan batu bara global dikuasai Indonesia. Namun, menurut Bahlil, produksi batu bara RI itu terlalu jor-joran. Hal itu tak lepas dari penerbitan RKAB yang dilakukan tiga tahun sekali. Akibatnya, produksi menjadi tak terkendali.
"Saya mengatakan ini jor-joran, akibat RKAB yang kita lakukan per 3 tahun, itu buahnya adalah tidak bisa kita mengendalikan antara produksi batu bara dan permintaan dunia. Apa yang terjadi? Harga jatuh," kata Bahlil.