Bisnis.com, JAKARTA — Nilai transaksi di bursa karbon Indonesia atau IDX Carbon telah mencapai Rp70,85 miliar sampai saat ini. Pasar bursa karbon Indonesia dinilai masih potensial didorong sejumlah faktor.
Berdasarkan data IDXCarbon, total volume transaksi di bursa karbon mencapai 1.414.629 ton CO2e sampai periode 11 Februari 2025. Nilai transaksi di bursa karbon mencapai Rp70,85 miliar, dengan frekuensi transaksi mencapai 204 Kali. Terdapat 107 pengguna jasa di IDXCarbon.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan aktifitas perdagangan di bursa karbon tergolong tumbuh pesat. Adapun, ke depan peluang pertumbuhan masih terbuka didorong oleh sejumlah faktor.
"Peluang terbuka, apalagi jika didukung insentif dan disinsentif," katanya setelah acara Bisnis Indonesia Forum pada Rabu (12/2/2025).
Baca Juga : OJK Rancang Produk Anyar ETF Emas, Tertarik? |
---|
Menurutnya, di Indonesia belum terdapat ketentuan terkait pajak karbon. Apabila terdapat pajak karbon, maka bursa karbon wajib akan mendapatkan dorongan.
"Pajak belum ada. Kalau enggak comply enggak dikenakan pajak. Sekarang belum ada ketentuan itu. Padahal itu bisa menjadi katalis penting untuk menggairahkan bursa karbon," kata Denny.
Selain itu, peluang datang dari adanya perdagangan luar negeri di bursa karbon Indonesia. Pelaksanaan perdagangan luar negeri memang telah dibuka sejak 20 Januari 2025, dengan realisasi volume transaksi hingga 31 Januari 2025 sebesar 49.815 tCO2e dan nilai transaksi mencapai Rp4,02 miliar.
"Ada peluangnya [perdanganan luar negeri di bursa karbon]. Akan tetapi, pasar karbon itu pasar quality, jadi tergantung seberapa berkualitas unit karbon itu dan seberapa bisa dipakai unit karbonnya," tutur Denny.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan dalam mendongkrak perdagangan di Bursa Karbon Indonesia dibutuhkan peran pemerintah. Sebab, produk karbon yang terserap nantinya menjadi kewenangan pemerintah.
"Mulai dari produk karbon, registrasinya, sertifikasinya, surveinya, dan semua dari sisi pasokan. Dari sisi permintaan juga dilakukan pengembangan ekosistemnya," kata Mahendra.
Sejauh ini, menurutnya juga belum ada batas atas emisi maksimum di industri. Alhasil, tidak ada insentif atau disinsentif untuk pengurangan karbon.