Bisnis.com, JAKARTA — Gebrakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakhiri mandat kendaraan listrik di AS menjadi sentimen yang membayangi gerak saham emiten-emiten nikel sebagai bahan baku baterai electric vehicle (EV). Meski begitu, saham di sektor tersebut dinilai masih atraktif untuk dicermati investor.
Usai resmi dilantik, Trump mengakhiri mandat kendaraan listrik, yakni aturan untuk meningkatkan adaptasi kendaraan berbasis energi hijau yang diinisiasi Presiden Joe Biden.
Hal tersebut disampaikan Trump dalam pidatonya setelah pelantikan dan pengambilan sumpah sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) 2025—2029. Trump menyatakan akan menghentikan kewajiban adaptasi kendaraan listrik dan mengakhiri perjanjian hijau, menandakan sikap AS untuk keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement).
"Dengan tindakan saya hari ini, kita akan mengakhiri kesepakatan baru yang ramah lingkungan dan kita akan mencabut mandat kendaraan listrik, menyelamatkan industri kita sendiri dan menepati janji suci saya kepada para pekerja industri otomotif Amerika yang hebat," ujar Trump dalam pidatonya, Senin (21/1/2025).
Menurutnya, mandat kendaraan listrik tidak mendukung industri otomotif AS yang memproduksi kendaraan-kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, pencabutan mandat tersebut akan berpengaruh positif bagi industri, tenaga kerja, dan perekonomian AS.
Sontak langkah Trump tersebut menjadi batu sandungan bagi industri EV global dan ekosistem yang terkait, termasuk pertambangan dan pengolahan nikel.
Meski begitu, saham emiten yang memiliki portofolio nikel bergerak variatif pada perdagangan kemarin, Rabu (22/1/2025). Saham PT Ifishdeco Tbk. (IFSH) paling moncer dengan lonjakan harga 21,84% ke level Rp1.225.
Penguatan harga saham juga dialami PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) sebesar 2,34% ke posisi Rp7.625 dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) naik tipis 0,66% ke level Rp1.520 per saham.
Berikut Pergerakan Harga Saham Emiten Nikel pada 22 Januari 2025
Kode Saham |
Harga Saham 22/01/2025 |
Kinerja Saham 1 Hari |
ANTM |
1.520 |
0,66% |
INCO |
7.625 |
2,34% |
NCKL |
725 |
-0,68% |
NICL |
248 |
-0,8% |
HRUM |
970 |
-1,02% |
UNTR |
25.925 |
0,87% |
MBMA |
416 |
-1,41% |
DKFT |
248 |
-3,87% |
IFSH |
1.255 |
21,84% |
Pakar otomotif dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan kembalinya AS ke minyak bumi dan internal combustion engine (ICE) memang akan memberikan dampak memperlambat transisi ekosistem energi baru terbarukan dan akan semakin berseberangan dengan kebijakan yang disepakati semua negara G7.
"Tetapi, dampaknya tidak akan sebesar dulu ketika AS masih menjadi pasar otomotif terbesar. Dominasi China, kebangkitan BRICS, dan komitmen negara-negara lain terhadap elektrifikasi akan memitigasi dampak negatif dari kebijakan AS,” kata Martinus kepada Bisnis, Selasa (21/1/2025).
Dalam risetnya, tim analis Maybank Sekuritas Hasan Barakwan dan Jeffrosenberg Chenlim masih memberikan pandangan positif terhadap sektor nikel Indonesia. Beberapa sentimen yang menaungi pandangan tersebut ialah rencana pemerintah Indonesia memangkas produksi bijih nikel pada 2025 dari kuota 215 juta ton pada 2024 menjadi 200 juta ton atau hingga 150 juta ton.
Langkah itu ditempuh untuk memperlambat laju penurunan cadangan dan kadar bijih nikel, serta diharapkan dapat menopang harga nikel.
Selain itu, Maybank juga menyoroti persetujuan izin Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tambang yang lebih ketat oleh Kementeraian ESDM.
“Kami perkirakan harga nikel akan tetap tinggi, dengan ANTM berada di posisi yang diuntungkan dengan RKAB yang sudah disetujui penuh sehingga memastikan produksi bahan baku yang cukup untuk produksi feronikel dan penjualan bijih nikel kepada pihak ketiga,” paparnya, dalam riset, dikutip Kamis (23/1/2025).
Di sektor ini, Maybank Sekuritas memberikan rekomendasi beli untuk empat saham emiten logam, yakni ANTM dengan target harga Rp1.950, INCO dengan target harga Rp4.600, MDKA dengan target harga Rp3.450, dan BRMS dengan target harga Rp480 per saham.
Sementara itu, Investment Analyst dari Indo Premier Sekuritas Indri Liftiany Travelin Yunus mengatakan rencana pemangkasan kuota produksi itu bakal memberi ruang bagi emiten untuk memperbaiki biaya produksi mereka.
“Tentu dengan hal ini akan berdampak positif bagi emiten nikel karena dapat menjual hasil produksinya dengan harga yang lebih tinggi,” kata Indri saat dihubungi, Selasa (14/1/2025).
Apabila rencana evaluasi kuota produksi ini jalan, Indri mengatakan, kinerja pendapatan dan laba emiten nikel bisa tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.
“Jika kebijakan pemerintah berjalan dengan baik maka berpotensi akan membuat kinerja emiten nikel juga akan tumbuh pada tahun ini,” tuturnya.
Sementara itu, Technical Analyst BRI Danareksa Sekuritas, Reyhan Pratama berpendapat sejumlah emiten tambang yang bergantung pada volume produksi bakal menghadapi tekanan akibat rencana evaluasi produksi tersebut. Reyhan menambahkan, emiten tambang nikel bakal melanjutkan tren penurunan secara teknikal pergerakan saham.
“Saham nikel tetap turun karena beberapa alasan, permintaan global yang menurun, pasokan nikel yang masih banyak, biaya produksi yang lebih tinggi juga mengurangi keuntungan perusahaan nikel,” kata Reyhan saat dikonfirmasi, Selasa (14/1/2025).
Menurut dia, emiten nikel saat ini masih minim katalis positif yang bisa mengangkat kinerja saham dan fundamental perusahaan. Kendati harga nikel naik, dia memperkirakan, harga saham emiten dalam industri ini bakal tetap melanjutkan tren penurunan.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.