Bisnis.com. JAKARTA — Mata uang rupiah melemah ke level Rp16.380 per dolar Amerikat Serikat (AS) pada penutupan perdagangan akhir pekan hari ini, Jumat (17/1/2025).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah 0,02% atau 4 poin ke level Rp16.380 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS menguat 0,21% ke level 109,19.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Yen Jepang dan dolar Taiwan masing-masing turut melemah 0,30% dan 0,02%.
Pelemahan mata uang lainnya turut terjadi pada won Korea Selatan dan peso Filipina masing-masing 0,12% dan 0,04%. Adapun rupee India ikut terkoreksi 0,07%.
Di sisi lain, dolar Hong Kong dan dolar Singapura masing-masing menguat 0,02% dan 0,01%. Selain itu, yuan China dan ringgit Malaysia menguat masing-masing 0,05% dan 0,01% terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah bakal melemah di rentang Rp16.360 sampai dengan Rp16.430 pada penutupan perdagangan hari ini.
Baca Juga
Ibrahim mengatakan terdapat sejumlah sentimen yang memengaruhi pergerakan rupiah belakangan ini.
Dari luar negeri, rilis data inflasi consumer price index (CPI) AS periode Desember terbaca sedikit lebih rendah dari yang diharapkan.
CPI utama sesuai dengan estimasi, sementara CPI inti hanya meleset dari ekspektasi. Rendahnya data CPI memicu peningkatan taruhan bahwa pelonggaran inflasi AS akan mendorong The Fed memangkas suku bunga tahun ini. Bank sentral AS diproyeksikan akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.
Namun, seiring dengan dilantiknya Presiden AS terpilih Donald Trump pekan depan, para analis memperkirakan beberapa kebijakannya akan mendorong pertumbuhan serta meningkatkan tekanan harga.
The Fed akan sangat berhati-hati untuk melanjutkan pemotongan suku bunga hingga ada kepastian mutlak bahwa inflasi akan kembali turun.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 bergerak di angka 4,7%-5,5%. Angka tersebut lebih rendah daripada ekspektasi sebelumnya di level 4,8%-5,6% karena mencermati kondisi dinamika ekonomi global yang bergejolak.