Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Menguat Tipis ke Level Rp16.180 per Dolar AS

Rupiah menguat 0,11% atau 18 poin ke posisi Rp16.180 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar menguat 0,08% ke posisi 108,34.
Karyawati menghitung mata uang Dolar Amerika Serikat di tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (14/8/2023). Bisnis/Suselo Jati
Karyawati menghitung mata uang Dolar Amerika Serikat di tempat penukaran uang asing di Jakarta, Senin (14/8/2023). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah dibuka menguat tipis 0,11% ke posisi Rp16.180 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (7/1/2024). 

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menguat 0,11% atau 18 poin ke posisi Rp16.180 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar menguat 0,08% ke posisi 108,34. 

Sementara itu, sejumlah mata uang di Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Dolar Hong Kong dan dolar Taiwan masing-masing dibuka menguat 0,03% dan 0,37%. 

Penguatan lainnya turut terjadi pada won Korea Selatan dan peso Filipina masing-masing sebesar 0,43% dan 0,28%. Selain itu, yuan China dan ringgit Malaysia turut menguat masing-masing 0,01% dan 0,07%. 

Di sisi lain, yen Jepang  dan dolar Singapura tercatat melemah masing-masing 0,39% dan 0,06%. Pelemahan mata uang lainnya turut dialami rupee India sebesar 0,05% per dolar AS.

Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah bakal bergerak fluktuatif namum ditutup menguat di rentang Rp16.150 sampai dengan Rp16.210 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

Ibrahim mengatakan bahwa di tengah meningkatnya kekhawatiran atas suku bunga AS yang akan turun lebih lambat pada tahun ini, Federal Reserve telah memperingatkan pada Desember lalu bahwa inflasi yang lesu dan kekuatan pasar tenaga kerja akan membuat suku bunga tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama. 

Dia mengungkap bahwa Gubernur Fed Adriana Kugler dan Presiden The Fed San Francisco Mary Daly mengatakan bahwa bank sentral masih belum menyatakan kemenangan atas inflasi, dan masih mengamati pasar tenaga kerja dengan saksama untuk mencari tanda-tanda pelemahan.

Menurutnya, inflasi yang lesu dan pasar tenaga kerja yang kuat membuat The Fed kurang bersemangat untuk memangkas suku bunga. Fokus pada pekan ini adalah pada data penggajian non-pertanian yang akan datang untuk isyarat lebih lanjut tentang suku bunga. 

Ibrahim mengatakan bahwa fokus pada pekan ini juga sepenuhnya tertuju pada data inflasi Desember, yang kemungkinan akan menjadi faktor dalam ekspektasi untuk stimulus lebih lanjut.  

Kemudian, dia mengatakan bahwa Beijing juga diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran fiskal pada 2025 untuk mendukung ekonomi China yang kini tengah bergulat dengan deflasi yang terus-menerus selama bertahun-tahun dan penurunan pasar properti.

Lalu, menurutnya Donald Trump juga telah berjanji untuk mengenakan tarif perdagangan yang tinggi terhadap China, yang dapat memacu respons stimulus yang lebih kuat dari Beijing. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper