Bisnis.com, JAKARTA – Bos emiten maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) meyakini perbaikan kinerja fundamental akan terus berlanjut meskipun bottom line perseroan pada paruh tahun ini masih membukukan kerugian.
Sampai dengan semester I/2024, GIAA membukukan rugi bersih senilai U$$101,65 juta atau meningkat 32,88% dari tahun sebelumnya yakni US$76,5 juta. Kenaikan rugi bersih emiten BUMN itu terjadi di tengah kinerja pendapatan yang mengalami peningkatan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan bahwa GIAA secara grup membukukan pendapatan usaha sebesar US$1,62 miliar, tumbuh 18,27% year on year (YoY).
Capaian itu dikontribusikan oleh pendapatan penerbangan berjadwal sebesar US$1,27 miliar, atau meningkat 15,72% YoY. Adapun pendapatan penerbangan tidak terjadwal mencapai US$177,97 juta, dan pendapatan lainnya menyumbang US$167,6 juta.
“Hingga pertengahan tahun 2024, Garuda Indonesia secara bertahap berhasil mengimplementasikan sejumlah langkah strategis optimalisasi kinerja baik dari aspek layanan dan aspek operasional,” ujar Irfan dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2024).
Pendapatan usaha GIAA juga selaras dengan pertumbuhan jumlah penumpang yang mencapai 11,53 juta atau meningkat 27,40% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 9,05 juta penumpang.
Secara terperinci, capaian angkutan penumpang hingga akhir Juni lalu berasal dari Garuda Indonesia sebanyak 5,27 juta penumpang yang meningkat 45,17% YoY, sedangkan Citilink mencapai 6,27 juta penumpang tumbuh 15,49% secara tahunan.
Irfan menambahkan GIAA turut mencatatkan pertumbuhan EBITDA sebesar 14,91% menjadi US$416,48 juta dibandingkan dengan semester I/2023 yang sebesar US$326,40 juta.
Namun, di sisi lain, perseroan mencatatkan pembengkakan beban usaha dari US$1,24 miliar menjadi US$,153 miliar. Beban operasional GIAA tercatat mencapai US$839,12 juta dan beban pemeliharan dan perbaikan US$257,57 juta.
Selain itu, beban kebandaraan naik dari US$97,15 juta menjadi US$123,05 juta dan beban pelayanan penumpang membengkak dari US$80,36 juta menjadi US$107,16 juta. Peningkatan beban ini yang akhirnya membuat GIAA menorehkan rugi bersih.
“Tidak dapat dipungkiri di tengah fase industri penerbangan global yang masih terus bergerak dinamis pascapandemi, penguatan profitabilitas perusahaan masih menjadi tantangan utama yang terus kami akselerasikan,” kata Irfan.
Dia menambahkan manajemen meyakini GIAA dapat mempertahankan kinerja positif dari sisi pendapatan usaha hingga akhir tahun. Upaya tersebut ditempuh melalui fokus peningkatan alat produksi, optimalisasi jaringan penerbangan, hingga memperluas portofolio bisnis.