Bisnis.com, JAKARTA - Peningkatan harga Bitcoin tahun ini terus berlanjut hingga menembus level tertingginya alias all time high (ATH) di posisi US$72.800.
Hal ini dipicu oleh peluncuran Exchange-Traded Funds (ETF) yang mendapat restu dari Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC) sejak januari 2024. Tren positif (bullish) ini diperkirakan semakin kuat seiring dengan semakin dekatnya realisasi pengurangan pasokan baru (halving day) Bitcoin yang diproyeksikan jatuh pada medio April 2024 mendatang.
Performa apik Bitcoin di atas ditengarai membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan industri kripto di Indonesia. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengestimasi adanya peningkatan nilai transaksi aset kripto sebesar 40%—60% di kuartal I/2024. Estimasi ini agaknya dijustifikasi oleh tingginya pertumbuhan jumlah investor kripto Indonesia, yang tercatat sebanyak 18,83 juta orang per Januari 2024 atau bertambah 320.000 orang dari posisi akhir 2023.
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam ekosistem kripto merupakan hal yang wajar. Sebab, kebanyakan investor akan melikuidasi aset di instrumen investasinya (saham dan obligasi, misalnya) untuk dialihkan ke instrumen kripto yang sedang bersinar. Mereka berspekulasi akan memperoleh keuntungan (return) yang lebih tinggi dari margin harga saat pembelian dan penjualan.
Optimisme ini cukup beralasan dengan adanya potensi pemangkasan suku bunga global yang meningkatkan keleluasaan pasar keuangan. Walhasil, harga Bitcoin diprediksi bakal terus melaju kencang.
Namun, penting untuk diingat bahwa kegiatan investasi juga melibatkan potensi risiko. Bagaimana pun, harga aset dapat berfluktuasi dan tidak ada jaminan bahwa suatu investasi akan memberikan return secara konsisten. Kekhawatiran ini sangat relevan dalam kasus mata uang kripto (cryptocurrency) yang notabene-nya tidak didukung oleh ‘underlying asset’ yang jelas.
Baca Juga
Artinya, investor tidak memiliki acuan yang memadai untuk merumuskan strategi perdagangan sebagai landasan pengambilan keputusan investasi yang rasional.
Jika kita usut ke belakang, para spekulan di pasar kripto agaknya hanya mengikuti tindakan terbaru dari sebagaian kecil orang yang telah mencapai kesuksesan. Tuduhan ini cukup beralasan mengingat cuitan Ellon Musk “I’m late to the party, but I am a supporter of bitcoin” di Twitter (sekarang bernama X) saja mampu menggoyang pasar kripto edan-edanan. Akibatnya, harga Bitcoin terdongkrak dari sekitar US$32.000 menjadi lebih dari US$38.000 dalam hitungan jam (Ante, 2023).
Dampak cuitan Musk (Musk Effect) dan pecahnya rekor ATH akhir-akhir ini telah menunjukkan apa yang disebut dengan fenomena ‘herding behaviour’, yaitu tindakan individu yang didasarkan pada tindakan sekelompok individu lain. Secara psikologis, fenomena ini muncul di antara mereka yang sering memiliki kecemasan akan kehilangan momen dari sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya. Dalam istilah populer, kecemasan ini dinamakan Fear of Missing Out (FOMO).
Di titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dinamika pasar cryptocurrency dikendalikan oleh para spekulan yang datang untuk alasan-alasan nonfundamental dan nonobjektif. Literatur menyebut para spekulan ini sebagai ‘noise investors’ yang gerik-geriknya seringkali mendorong harga aset jauh dari nilai fundamental (overvaluation) sehingga mengakibatkan volatilitas harga yang berlebihan (Hong & Stein, 1999).
Dengan konfigurasi problematika di atas, wajar jika kelompok akademisi dan praktisi mewanti-wanti adanya risiko penggelembungan nilai di pasar kripto (crypto-bubble) yang mengiringi euforia meroketnya harga Bitcoin. Bagian terburuk dari crypto-bubble adalah ketika ia ‘meletus’. Hal ini mengakibatkan penurunan harga aset kripto secara dramatis sehingga dapat menimbulkan kerugian besar bagi para investor.
Bangkrutnya bursa Bitcoin terbesar, Mt Gox, pada Februari 2014, menjadi bukti adanya crypto-bubble dan akhirnya meletus. Tiga bulan sebelum kebangkrutan Mt Gox, November 2013, harga Bitcoin mencapai puncaknya, yaitu lebih dari US$1.000. Setelah Mt Gox menutup layanan perdagangannya, crypto-bubble meletus hingga mencapai titik terendah di US$$172 pada Januari 2015. Letusan crypto-bubble kala itu tentunya mengakibatkan kerugian finansial di antara para spekulan, khususnya pengguna jasa Mt Gox.
Oleh karena itu, agar sejarah kelam itu tidak terulang lagi, investor perlu memperbanyak literasi terkait karakteristik kelas aset yang hendak dijadikan sebagai instrumen investasi. Kenali kegunaan sebuah koin, tim pengembang, proyek, serta use case-nya melalui sejumlah riset. Dengan memegang prinsip utama dalam berinvestasi ini, investor diharapkan dapat mengambil keputusan investasi yang cermat dan bijak.
Selain itu, investor juga perlu memastikan bahwa aktivitas investasi dilakukan di Calon Pedagang Fisik Aset Kripto (CPFAK) yang aman dan terdaftar di Bappebti.
Saat ini, Bappebti telah memberikan tanda daftar kepada 33 CPFAK dan menetapkan 545 aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto Indonesia. Perlu diketahui bahwa setiap aset kripto yang diakui oleh Bappebti telah melalui proses penilaian yang komprehensif dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hal ini dilakukan guna memastikan bahwa aset kripto yang diperdagangkan di CPFAK terdaftar memiliki kejelasan whitepaper dan terhindar dari tujuan ilegal seperti pencucian uang dan sebagainya.
Terakhir, otoritas perlu menegakkan hukum pajak kripto yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia No. 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Kebijakan intervensi ini diperlukan untuk mengurangi spekulasi dan volatilitas yang berlebihan di pasar kripto.
Selain itu, penerapan pajak ini diharapkan dapat menjadi rambu bagi para investor untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Dengan begitu, cryptocurrency tidak hanya dipandang sebagai ‘emas yang berkilauan’, melainkan juga diwaspadai sebagai bubble yang siap meletus kapan saja.