Bisnis.com, JAKARTA – Negara-negara Barat mulai melirik potensi dari tambang di Afrika guna mengurangi ketergantungan kobalt dengan China yang kini tengah menjadi pemain besar pada pertambangan komoditas kobalt.
Dilansir dari Reuters pada Senin (19/2/2023), CMOC Group telah menyalip Glencore untuk menjadi produsen kobalt terbesar di dunia tahun lalu seiring dengan perluasan tambang baru Kisanfu di Kongo.
Produksi perusahaan terhitung melonjak 174% dibandingkan dengan tahun lalu menjadi 55.526 metrik ton. Permintaan tersebut mewakili lebih dari seperempat permintaan global, yakni sebesar 213.000 ton.
Pertambangan Kisanfu yang sebelumnya diketahui sebagai pertambangan yang memproduksi baterai raksasa China dan memiliki kepemilikan saham minoritas, kini telah membanjiri pasar penjualan kobalt.
Cobalt Institute memperkirakan produksi global dapat melebihi permintaan sebesar 12.500 ton pada tahun 2023. Hal ini yang menjadikan komoditas kobalt sebagai salah satu surplus terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Copperbelt yang terletak di bagian utara Zambia dan bagian selatan Kongo masih memiliki cadangan tembaga dan kobalt terkaya di dunia. KoBold Metals, sebuah perusahaan eksplorasi logam berbasis di California yang didukung oleh miliarder Bill Gates dan Jeff Bezoz, mengklaim proyek Mingomba di Zambia memiliki kadar tembaga sekitar 5%.
Baca Juga
International Development Finance Corporation (DFC) Amerika Serikat berencana menambah dana bantuan hingga dua kali lipat komitmen keuangannya untuk mencoba mengurangi risiko penambangan di Copperbelt.
Investasi yang menjadi unggulan sejauh ini adalah proyek Koridor Lobito, yang akan meningkatkan jalur kereta api dari pelabuhan Lobito di Angola ke Kongo dan kemudian diperluas ke Zambia.
Tujuannya adalah untuk menghubungkan tambang Copperbelt secara langsung dengan Samudera Atlantik, sehingga mengurangi biaya dan jejak karbon dari koridor angkutan truk yang ada saat ini ke pelabuhan-pelabuhan di Afrika Selatan.
Dukungan pemerintah AS dan Eropa diharapkan akan mengurangi risiko logistik bagi sektor swasta untuk menggunakan jalur kereta api yang ditingkatkan untuk ekspor tembaga dari tambang raksasa Kamoa-Kakula di Kongo.
Sementara itu, The United States Trade and Development Agency (USTDA) mendanai studi kelayakan pembangkit listrik bertenaga surya berkekuatan 200 watt di Solwezi.
Hal tersebut tidak hanya akan memasok kebutuhan industri di Zambia namun juga berpotensi menyediakan listrik bagi dua pertambangan mineral penting di Kongo, sehingga mengatasi masalah lain yang terus terjadi bagi operator Copperbelt. (Nona Amalia)