Bisnis.com, JAKARTA - Riset International Data Corporation (IDC) Asia Pacific memproyeksi transaksi berkaitan platform dagang-el (e-commerce) di Indonesia bakal tembus US$118 miliar pada 2027, dengan pangsa pasar metode pembayaran yang didominasi oleh para penyedia layanan berbasis aplikasi.
Dalam riset bertajuk 'How Asia Buys and Pays 2023: Tapping into Asia's Regional Commerce Opportunities' yang dirilis pada Oktober 2023 itu, tren di Tanah Air akan sejalan dengan proyeksi transaksi e-commerce Asia Tenggara (Asean) pada 2027 yang dipercaya tembus US$273,3 miliar, tumbuh dua kali lipat ketimbang capaian 2022 di level US$118,4 miliar.
Terlebih, tren nilai transaksi kotor (GMV) ekonomi digital di dalam negara-negara kawasan Asia Pasifik yang diteliti, yaitu Asean ditambah Jepang dan Korea Selatan (SEAKJ), berpotensi mencapai US$914,9 miliar pada 2027, tumbuh 82% yoy ketimbang capaian 2022 senilai US$501,7 miliar.
Associate Research Director IDC Financial Insight and Retail Insights IDC Asia Pacific Michael Yeo menjelaskan bahwa transaksi berbasis digital bakal menjadi pendorong utama pertumbuhan negara-negara SEAKJ, namun tetap ada fenomena unik pada setiap negara.
"Khusus Asean, layanan keuangan digital berbasis domestik [seperti QRIS dan mobile banking] bakal mengalami pertumbuhan pesat. Dompet digital dan BNPL pun akan mengalami tren serupa, terutama dari sisi penambahan jumlah pengguna, karena keterbatasan akses kartu kredit yang cenderung telah populer di negara dengan kondisi ekonomi lebih maju," tulisnya, dikutip Rabu (25/10/2023).
Sebagai contoh, IDC menggambarkan bahwa Indonesia akan jadi satu-satunya yang akan mengalami perlambatan transaksi e-commerce berbasis kartu (kartu kredit dan debit) sekaligus transaksi offline lain-lain, seperti cash on delivery (CoD) dan pembayaran via ATM. Sementara itu, dompet digital, transaksi online domestik, dan BNPL akan terus menguat.
Baca Juga
Secara terperinci, pangsa pasar transaksi e-commerce di Indonesia pada 2022 disebut mencapai US$55 miliar, masih didominasi transaksi digital domestik sebesar 31%, disusul transaksi berbasis kartu dengan 29%, dompet digital 28%, transaksi offline lain-lain 9%, dan BNPL 3%.
Kemudian, dalam proyeksi IDC terhadap Indonesia pada 2024 dengan pangsa pasar transaksi e-commerce mencapai US$75 miliar, porsinya akan berubah, di mana transaksi digital domestik naik ke 32%, disusul dompet digital 29%, transaksi berbasis kartu turun ke 28%, kemudian BNPL 6%, dan transaksi offline lain-lain 5%.
Proyeksi serupa pada 2027 dengan pangsa pasar transaksi menembus US$118 miliar akan mengalami tren serupa, di mana transaksi digital domestik tembus 34%, dompet digital 31%, transaksi berbasis kartu turun ke 27%, kemudian BNPL 7%, dan transaksi offline lain-lain tinggal 1%.
Artinya, transaksi digital via aplikasi akan mengambil pangsa pasar hingga 72% dari total transaksi.
"Indonesia adalah pendorong perekonomian utama bagi Asean yang terus bertransformasi ke arah transaksi digital. Pendulang keuntungan terbesar di kawasan ini adalah pemain BNPL, dompet digital, dan aplikasi penyedia transaksi digital domestik," jelasnya.
Tren di Indonesia hampir serupa di Malaysia dan Vietnam, di mana pangsa pasar transaksi offline lain-lain akan turun drastis dibandingkan periode 2022. Bedanya, penetrasi transaksi berbasis kartu di Malaysia dan Vietnam masih berpotensi menguat.
Adapun, Filipina dan Thailand cenderung punya kebiasaan transaksi offline yang masih kuat dengan porsi di kisaran 15-20% dari total, kendati seluruh transaksi lain juga bertumbuh pesat dibandingkan capaian 2022.
Sementara itu, proyeksi transaksi pada 2027 untuk negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, masih akan didominasi pembayaran berbasis kartu. Pangsa pasar transaksi jenis ini bisa mencapai 73% dari total di Singapura, 43% untuk Korea Selatan, dan 62% untuk Jepang.
Oleh sebab itu, riset mengungkap bahwa peluang para pemain layanan keuangan di setiap negara SEAKJ untuk memperluas jangkauan ke negara tetangga begitu terbuka lewat kolaborasi. Terlebih, selain karena adanya dorongan perdagangan dan aktivitas ekonomi digital antarnegara SEAKJ, terdapat pula peluang besar dari sisi transaksi berkaitan pariwisata.
"Kecenderungan transaksi digital setiap negara SEAKJ berbeda-beda. Jadi merchant offline harus punya payment acceptance yang luas, simpel, cost-effective, dan terintegrasi. Konektivitas infrastruktur pembayaran juga turut menentukan kesuksesan transaksi berkaitan sektor pariwisata di kawasan SEAKJ," tutupnya.