Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak sawit atau CPO diperkirakan akan merangkak naik di tahun 2023 ini akibat pasokan yang lebih ketat dari Indonesia, dan imbas dari sejumlah perubahan kebijakan domestik termasuk rencana penghentian ekspor CPO ke negara Uni Eropa yang digagas Malaysia-Indonesia.
Dewan Minyak Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Board/MPOB) memperkirakan minyak sawit mentah atau CPO akan diperdagangkan di kisaran 4.000 sampai 4.200 ringgit Malaysia per ton pada 2023 atau sekitar US$961 per ton. Estimasi ini lebih tinggi daripada proyeksi sebelumnya yakni rata-rata 3.800 ringgit Malaysia per ton.
“Faktor pendorong utama kenaikan harga CPO mencakup bertambahnya mandat biodiesel Indonesia, ketidakpastian produksi, dan kebijakan ekspor Indonesia yang lebih ketat,” kata Direktur Jenderal MPOB Ahmad Parveez dalam konferensi pada Kamis (12/1/2023) sebagaimana diberitakan Bloomberg.
Dia menambahkan perubahan kebijakan Indonesia terkait ekspor dan peningkatan alokasi bahan bakar nabati (BBN) untuk program B35 akan memperketat pasokan minyak sawit global. Di sisi lain, permintaan untuk minyak sawit Malaysia diramal akan naik sehingga mengurangi stok domestik.
Kementerian Perdagangan mengumumkan bahwa rasio kuota hak ekspor minyak sawit dipangkas mulai 1 Januari 2023 dalam rangka mengamankan stok domestik.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso, pemerintah akan memangkas jumlah yang dapat diekspor produsen menjadi enam kali dari pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
Baca Juga
Adapun ketentuan yang berlaku sebelumnya menetapkan rasio kuota hak ekspor CPO dan produk turunannya adalah delapan kali dari DMO CPO dan/atau minyak goreng atau 1:8.
Selain kebijakan DMO yang berlanjut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM) mengumumkan bahwa bauran biodiesel akan dinaikkan per 1 Februari 2023 dari awalnya 30 persen menjadi 35 persen (B35).
Harga minyak sawit sendiri telah naik sejak pertengahan Desember 2022 menuju rekor tertingginya dalam tujuh pekan di level Palm 4.253 ringgit per ton pada awal Januari 2023.
Namun harga cenderung menurun karena investor masih mengamati prospek permintaan dari China yang kini tengah menghadapi lonjakan kasus Covid-19 meskipun kebijakan pembatasan telah berakhir.
Harga sawit berjangka di Bursa Malaysia ditutup di 3.908 ringgit per ton pada penutupan Kamis (12/1/2023). Di tengah proyeksi harga CPO 2023, MPOB juga memprediksi pasokan minyak nabati tetap ketat karena kekhawatiran produksi kedelai Argentina karena iklim yang kering dan produksi biji bunga matahari di Ukraina yang lebih rendah.selaku penopang harga minyak sawit.
Produksi minyak sawit Malaysia diperkirakan naik 3 persen pada 2023 menjadi 19 juta ton. Sementara itu ekspor diperkirakan naik 3,7 persen menjadi 16,3 juta ton dan stok akhir 2023 diperkirakan turun 8,7 persen menjadi 2 juta ton.
Pasokan CPO juga akan semakin ketat ke pasar eropa setelah Malaysia mengajak Indonesia memblokir ekspor CPO ke Uni Eropa sebagai bentuk aksi balasan terhadap peraturan deforestasi mendapat dukungan dari sejumlah pihak.
Sebagaimana diketahui, Uni Eropa pada awal Desember lalu baru saja memberlakukan peraturan deforestasi. Dalam aturan tersebut, produk-produk seperti sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, daging, hingga produk turunannya yang masuk Uni Eropa, termasuk Indonesia, harus terlebih dahulu melakukan uji tuntas bebas deforestasi.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung menilai, jika ingin membangun sebuah kemitraan yang baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan.
Menurut dia, aturan yang dibuat oleh Uni Eropa sudah masuk ke dalam kategori pemaksaan. Oleh karena itu, jika produsen minyak sawit sebagai yang dipaksa tidak sepakat, maka pilihan untuk menghentikan pengiriman CPO ke Uni Eropa merupakan pilihan yang tepat.
“Kami petani sawit sangat setuju jika Indonesia dan Malaysia membangun kesepakatan tersebut. Indonesia dan Malaysia harus semakin kompak dalam perjalanan Council of Palm Oil Producing Countries [CPOPC], jangan ambil posisi masing-masing seperti selama ini. Itulah kelemahan selama ini makanya sawit bisa diatur-atur oleh Uni Eropa dan mengabaikan kesetaraan,” jelas Gulat kepada Bisnis, Kamis (12/1/2023).
Berdasarkan data GAPKI, pada 2020, Uni Eropa mengimpor CPO dan turunannya dari Indonesia sebanyak 4,923 juta ton, lalu sebanyak 4.703 juta ton, atau 18 persen dari total ekspor Indonesia pada 2021.
Volume ekspor ke Eropa itu, jelas Gulat, terdistribusi ke 27 negara. Sehingga, tegasnya, sebenarnya pasar CPO dari masing-masing negara Eropa itu sangat kecil. Oleh karena itu, menurutnya Uni Eropa yang akan dirugikan dengan aturan tersebut. Pasalnya, aturan tersebut otomatis akan membuat harga bahan baku minyak nabati menjadi melonjak di Uni Eropa.