Bisnis.com, JAKARTA – Pada hari terakhir perdagangan rights issue saham PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), menjadi yang lebih bertahan dibandingkan dengan emiten perbankan lain setelah The Fed mengumumkan risalah.
Pada saat IHSG turun 2,41 persen pada hari ini, Kamis (5/1/2023), saham pembiayaan rumah itu masih mampu menahan laju penurunan sebesar 1,1 persen. Adapun emiten sejenis seperti BBCA turun 2 persen seperti IHSG.
Sejawat BBTN seperti BBRI, BBNI dan BMRI turun 3,56 persen, 2,27 persen dan 2 persen. Sebagai informasi, BBTN tengah menggalang dana anyar dengan menerbitkan 3,44 miliar saham baru atau setara dengan 24,54 persen dari modal ditempatkan.
BEI mencatat 86,75 persen HMETD tersebut telah dilaksanakan oleh para pemegang saham sejak 28 Desember 2022 hingga 4 Januari 2023. Saat ini, saham baru yang tersisa hanya sekitar 13,25 persen.
Dalam aksi korporasi ini, setiap 1 HMETD bisa ditukar dengan dengan 1 saham BBTN dengan harga pelaksanaan Rp1.200. Sebagai informasi, setelah tanggal 5 Januari HMETD BBTN-R akan hangus sehingga tidak bisa diperjualbelikan atau ditebus menjadi saham baru.
Saham baru akan didistribusikan pada tanggal 30 Desember 2022 sampai 9 Januari 2023. Dalam aksi korporasi ini, para pemegang saham BBTN bisa melaksanakan HMETD di luar porsi yang dimiliki apabila masih ada HMETD yang belum dilaksanakan oleh pemegang saham lainnya hingga akhir masa pelaksanaan.
Baca Juga
Bila masih ada sisa saham yang belum ditebus, maka PT CIMB Niaga Sekuritas sebagai pembeli siaga atau standby buyer akan menyerap sisa saham.
Berdasarkan data RTI pada pukul 14.00 WIB, IHSG terpantau anjlok 2,42 persen ke level 6.648,16. Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak pada rentang 6.646 - 6.813.
Tercatat, 89 saham menguat, 504 saham terkoreksi dan 104 saham stagnan. Nilai kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp9.237,88 triliun.
Terkait hal tersebut, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta Utama mengatakan koreksi IHSG pada hari ini disebabkan oleh pelemahan harga saham berkapitalisasi pasar besar atau big caps.
Menurutnya koreksi pada saham - saham big caps disebabkan oleh sentimen hawkish dari The Fed terkait komitmen kuat dalam menurunkan laju inflasi dengan mempertahankan kebijakan pengetatan moneter yang agresif di sepanjang tahun ini.
"Di sisi lain, sentimen turut diperkuat dengan adanya faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan kenaikan probabilitas resesi global di sepanjang tahun ini," katanya saat dihubungi, Kamis (5/1/2023).
Nafan melanjutkan, investor akan cenderung wait and see di sisa pekan pertama tahun 2023. Para pelaku pasar akan memantau perilisan data non farm payrolls (NFP) dari AS.