Bisnis.com, JAKARTA – Tren pengetatan kebijakan moneter yang terjadi secara global dan di Indonesia masih akan menjadi sentimen utama yang menekan pasar obligasi Indonesia selama beberapa waktu ke depan.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto memaparkan kenaikan suku bunga merupakan langkah yang perlu diambil Bank Indonesia (BI) untuk merespon kebijakan The Fed. Hal tersebut seiring dengan upaya BI untuk menjaga daya tarik pasar Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia.
“BI tidak memiliki pilihan lain untuk menaikkan suku bunganya karena untuk menyesuaikan dengan kondisi The Fed. Dampaknya, yield di pasar obligasi kita kembali melemah dan menyentuh kisaran 7,5 persen,” jelasnya saat dihubungi, Senin (24/10/2022).
Ramdhan melanjutkan, kenaikan suku bunga tersebut membuat kehati-hatian pelaku pasar semakin tinggi. Sehingga, minat investor terhadap instrumen obligasi Indonesia juga mengalami penurunan.
Pelemahan minat investor terhadap instrumen obligasi terlihat dari hasil lelang SBN mingguan yang hasil penawarannya menunjukkan tren penurunan. Menurut Ramdhan, hal ini juga berakibat pada sedikit berkurangnya tingkat likuiditas di pasar SBN.
Ramdhan memprediksi pasar SBN Indonesia masih akan mengalami tekanan hingga akhir tahun ini. Outlook tersebut seiring dengan potensi berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed.
Baca Juga
Ia menjelaskan, kenaikan suku bunga The Fed nantinya juga akan direspon kembali oleh Bank Indonesia. Hal ini akan memicu beralihnya investor asing ke obligasi AS atau US Treasury karena cenderung lebih aman.
Kinerja pasar surat utang Indonesia juga akan ditekan oleh tren pelemahan nilai tukar rupiah. Sentimen tersebut seiring dengan laju inflasi yang tinggi serta tensi geopolitik di beberapa wilayah, salah satunya antara Rusia – Ukraina yang tak kunjung usai.
“Pelemahan yield obligasi Indonesia masih terbuka sampai akhir tahun, kemungkinan bisa menyentuh 7,7 persen – 7,8 persen,” pungkasnya.