Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) masih cenderung stabil sebagai dampak dari Bank Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini, Kamis (23/6/2022).
Hal tersebut disampaikan Chief Economist Bank Permata Josua Pardede. Ditambah lagi dalam pekan ini, yield SUN Indonesia cenderung menguat akibat dampak dari penurunan yield US Treasury di Amerika Serikat.
"Dari sisi pergerakan yield, diperkirakan akibat kebijakan BI ini, yield masih akan cenderung bergerak stabil," kata Josua saat dihubungi Bisnis, Kamis (23/6/2022).
Selanjutnya dengan stabilnya pergerakan dari yield obligasi saat ini, Josua memperkirakan kondisi ini akan berlanjut pada paruh kedua tahun ini.
Josua pun memprediksi yield SUN yang sempat melemah dalam beberapa bulan ini secara perlahan mulai kembali menguat.
Namun seiring dengan ketidakpastian global yang masih tinggi, Josua mengatakan, yield SUN pada akhir tahun 2022 masih akan tertahan di atas 7 persen.
Baca Juga
"Kami perkirakan yield SBN akan berada pada kisaran 7,1 persen - 7,3 persen di akhir tahun," terang Josua.
Terkait dengan keputusan BI mempertahankan suku bunga pada RDG hari ini, Josua mengatakan hal tersebut sudah sesuai dengan perkiraan sebelumnya.
Dia menilai BI mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5 persen dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebelumnya Josua telah memperkirakan hingga akhir tahun BI akan mempertimbangkan untuk menormalisasi suku bunga acuannya sebesar 50-75 basis poin (bps).
Sebagai informasi, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan BI 7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen dan menetapkan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.
"Untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap 3,50 persen," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022 hari ini, Kamis (23/6/2022).
Dia mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.
Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo juga menegaskan masuknya aliran net inflow US$1,5 miliar turut menjadi pertimbangan. BI memperkirakan pada akhir tahun neraca pembayaran juga masih terjaga dengan defisit 0,5 sampai 1,3 persen dari PDB.
Neraca pembayaran sendiri ditopang harga komoditas yang tinggi. Perry mengakui nilai tukar rupiah mengalami tekanan. Hal yang sama juga dialami negara lainnya seiring adanya ketidakpastian global