Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat turut terseret aksi jual saham global pada perdagangan Senin (13/6/2022), di tengah spekulasi bahwa Federal Reserve akan menerapkan kebijakan yang lebih agresif untuk memerangi inflasi.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Dow Jones Industrial Average melemah 2,07 persen ke 30.743,15, sedangkan indeks S&P 500 melemah 2.67 persen ke 3.796,90 dan Nasdaq Composite melemah 3,1 persen ke 10.988,77.
Aksi jual di awal perdagangan membawa Wall Street di ambang pasar bearish. Indeks Volatilitas Cboe, yang dikenal sebagai pengukur ketakutan Wall Street, memperkirakan lebih banyak ketidakpastian dibanding tiga bulan terakhir.
Sementara itu, harga Bitcoin anjlok di bawah US$24.000. Imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun naik ke level tertinggi sejak 2011 sementara imbal hasil tenor dua tahun melonjak ke level yang terakhir terlihat sebelum krisis 2008.
Eksodus dari saham dan obligasi mendapatkan momentum, dengan inversi di seluruh kurva imbal hasil Treasury menunjukkan kekhawatiran bahwa The Fed tidak akan dapat mencegah hard landing.
Pelaku pasar kini memperkirakan suku bunga acuan akan naik 175 basis poin hingga September. Ini menyiratkan adanya dua kali kenaikan 50 basis poin dan kali kenaikan 75 basis poin dalam rapat bulanan the Fed.
Baca Juga
Jika terjadi, ini akan menjadi pertama kalinya The Fed melakukan tindakan yang sangat agresif sejak 1994. Pasar saham juga masih belum sepenuhnya mencerminkan risiko besar yang dihadapi pendapatan perusahaan dan permintaan konsumen yang lebih lemah, menurut ahli strategi di Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc.
Kepala investasi di G Squared Private Wealth Victoria Greene mengatakan keadaan ini akan menjadi sedikit lebih buruk dan akan sangat sulit bagi saham untuk reli ketika The Fed terus memberikan tekanan hawkish.
“Lucunya, kita masih memiliki penyangkal resesi. Tidak mungkin mereka bisa menginjak rem (pengetatan kebijakan) dengan inflasi yang terus melaju,” ungkap Greene seperti dikutip Bloomberg, Senin (12/6/2022).