Bisnis.com, JAKARTA — Pasar Surat berharga Negara (SBN) diperkirakan masih akan mengalami tekanan seiring dengan tren kenaikan tingkat imbal hasil US treasury sejak awal Maret 2022.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, terlihat kenaikan tingkat imbal hasil atau yield US treasury hingga 45 basis poin (bps) juga mendorong kenaikan yield surat utang negara (SUN) hingga 15 bps.
Namun demikian, kata dia, kenaikan yield SUN tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan kenaikan yield obligasi negara lainnya, seperti Australia, Singapura, Korea, dan Eropa, yang naik melebihi 20 bps.
“Kenaikan dari yield US treasury ini didorong oleh ekspektasi kebijakan yang hawkish dari Fed,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Josua menjelaskan, para anggota FOMC memberi sinyal untuk bersiap mengimplementasi kebijakan yang hawkish untuk meredam tekanan inflasi di Amerika Serikat.
Josua memperkirakan tekanan dari yield US Treasury ini akan berlangsung hingga akhir April, menjelang rapat FOMC yang akan berlangsung pada 3-4 Mei mendatang.
Kondisi ini pun mendorong premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia yang naik hingga mencapai 99,98 pada 12 april 2022 dan cenderung mengalami kenaikan sejak pekan lalu.
“Dengan kondisi tersebut, hingga akhir bulan April, yield SBN berpotensi melewati angka 7,0 persen,” kata Josua.
Namun demikian, diperkirakan yield SBN akan menurun secara gradual, hingga pada akhir tahun akan berada pada kisaran 6,75 persen hingga 6,95 persen.
Dari sisi permintaan lelang, Josua menambahkan, pada bulan ini diperkirakan cenderung lebih rendah dibandingkan awal tahun karena sentimen di pasar keuangan global.
“Pergerakan yield yang cenderung naik pada umumnya akan berdampak negatif pada demand di lelang SBN, baik SBN konvensional maupun syariah,” tuturnya.