Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kenaikan Pungutan Ekspor Jadi Sentimen Negatif Emiten CPO, Siapa Paling Terdampak?

Kenaikan pungutan ekspor akan membuat emiten CPO mempertimbangkan kembali aktivitas ekspor mereka.
Aktivitas di perkebunan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT). Istimewa
Aktivitas di perkebunan PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT). Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah untuk menghapus domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), serta menerapkan batas atas harga baru untuk pengenaan pungutan ekspor (export levy) dinilai akan memberatkan kinerja emiten-emiten di sektor perkebunan sawit dan CPO.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengemukakan kenaikan batas atas harga CPO untuk pengenaan pungutan ekspor menjadi US$1.500 per ton bakal menambah besaran tarif yang harus dibayar pelaku usaha.

Dengan batas atas US$1.000 per ton yang sebelumnya berlaku, eksportir hanya dikenai kewajiban pungutan ekspor sebesar US$175 per ton dan setelahnya tarif berlaku flat.

Namun dengan batas atas baru, tarif maksimum yang harus dibayarkan eksportir mencapai US$375 per ton saat harga CPO mencapai atau melampaui US$1.500 per ton.

Lutfi mengatakan kenaikan pungutan ekspor akan menambah dana kelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk dialokasikan pada subsidi minyak goreng curah.

Analis CGS-CIMB Ivy Ng dalam risetnya memperkirakan produsen minyak sawit perlu membayar tambahan pungutan ekspor sebesar US$160 per ton sejak berlakunya kebijakan ini pada 18 Maret 2022.

“Ada kenaikan 43 persen dengan harga referensi CPO Indonesia untuk Maret sebesar US$1.432 per ton,” katanya dalam riset, dikutip Minggu (20/3/2022).

Ivy menilai tingginya pungutan ekspor akan menjadi sentimen negatif bagi produsen minyak sawit Indonesia dalam menikmati keuntungan optimal dari kenaikan harga CPO global.

CGS-CIMB memperkirakan kenaikan ini tidak akan memengaruhi proyeksi pendapatan emiten perkebunan sawit pada kurun 2022—2024 dengan asumsi harga CPO bertahan di kisaran US$900—US$1.146 per ton.

“Perkebunan terintegrasi seperti Wilmar, First Resources, dan Golden Agri-Resources akan terdampak lebih sedikit dibandingkan dengan pelaku perkebunan hulu seperti AALI, LSIP, DNSG, dan TAPG. Namun produsen minyak goreng dan produk konsumer di Indonesia akan diuntungkan,” katanya.

Sementara itu, Research Analyst RHB Sekuritas Fauzan Luthfi Djamal mengatakan kenaikan pungutan ekspor CPO akan membuat pelaku usaha mempertimbangkan kembali aktivitas ekspor mereka.

“Jadi mereka dalam tanda kutip sedikit dipaksa untuk menjual ke dalam negeri. Dan ini memang tujuannya pemerintah sehingga pasokan untuk dalam negeri bisa stabil,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper