Bisnis.com, JAKARTA – Pada Jumat (11/3) kemarin, Wakil Perdana Menteri Ukraina Mykhailo Fedorov meminta pengembang Tether (USDT) agar memblokir transaksi-transaksi kripto yang melibatkan Rusia. Perkembangan terakhir menyebut bahwa Tether menolak tegas permintaan Fedorov tersebut.
Tether memang tidak menyatakan penolakan secara langsung. Namun, menurut laporan Bloomberg hari ini (12/3), sikap penolakan ini tergambar dari respons tidak langsung tim pengembang asal British Virginia Island tersebut.
“Tether melakukan monitoring pasar secara konstan untuk memastikan supaya tidak ada pergerakan atau tindakan tidak teratur yang mungkin dapat bertentangan dengan sanksi internasional,” tulis pernyataan mereka.
Sikap Tether bukan yang pertama. Sebelumnya, para stakeholder kripto termasuk platform trading Coinbase dan Kraken juga menyatakan penolakan serupa.
Menurut mereka, terlepas dari pro-kontra soal manuver Rusia menyulut perang, blokir sepihak terhadap salah satu negara mencederai semangat kripto dan blockchain untuk mendorong desentralisasi.
Sebagai salah satu aset stabil (stablecoin), kontribusi Theter sebagai jembatan pemindah aset fiat menjadi kripto diyakini cukup besar oleh berbagai pihak. Termasuk dalam konteks usaha para konglomerat Rusia mengalihkan aset mereka ke dalam aset lindung nilai seperti Bitcoin.
Baca Juga
Hal tersebut dikarenakan volatilitas minim Tether (USDT), yang memungkinkan perpindahan dilakukan tanpa menimbulkan kerugian besar.
Keyakinan tersebut belakangan diamini oleh riset yang dilakukan CryptoCompare. Dalam penghitungan terakhir, CryptoCompare memperkirakan jumlah uang rubel Rusia yang telah dialihkan menjadi Bitcoin per pekan ini telah mencapai 0,10 persen dari total uang beredar. Nilai ini naik lima kali lipat dari proporsi 0,02 persen pada akhir Desember 2021.
Mayoritas dari perpindahan tersebut diperkirakan sempat dialihkan terlebih dahulu ke dalam bentuk USDT.