Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Garuda Indonesia (GIAA) Siapkan Rencana Bisnis Baru, Begini Detailnya

Rencana bisnis baru hingga 2026 dalam tahap finalisasi untuk diskusi dengan pemilik perusahaan dalam hal ini pemerintah dan siap disampaikan pada pekan depan.
Garuda Indonesia/istimewa
Garuda Indonesia/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Emiten maskapai BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mengungkapkan rencana bisnis baru telam dalam tahap finalisasi dan siap disampaikan kepada pemerintah dan lessor.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan rencana bisnis baru hingga 2026 dalam tahap finalisasi untuk diskusi dengan pemilik perusahaan dalam hal ini pemerintah dan siap disampaikan pada pekan depan.

"Filosifinya lebih simple, profitable dan efisien. Jumlah rute yang dilayani akan berkurang, aircraft berkurang, jumlah tipe pesawat akan berkurang. Konsekuensi logis, rute berkurang, kami fokus di domestik dan kargo," jelasnya dalam paparan publik insidentil, Kamis (19/8/2021).

Garuda Indonesia per 2020 memiliki armada 142 unit pesawat beragam tipe dan Citilink sebanyak 68 unit pesawat, sehingga secara grup, perseroan memilik 210 unit pesawat.

Di sisi lain, sepanjang restrukturisasi terhadap lessor, emiten berkode GIAA ini sudah berhasil menurunkan biaya sewa antara US$11--US$13 juta per bulannya.

"Penurunan setelah restrukturisasi per 2020, biaya sewa turun sekitar US$11--US$13 juta per bulan setelah restrukturisasi lessor dengan memperpanjang jangka waktu sewa pesawat dalam 4--5 tahun," urai Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio.

Lebih lanjut, negosiasi antara GIAA dan para pemberi sewa pesawatnya masih terus berlangsung dan setiap negosiasi belum tentu berakhir dengan pengembalian pesawat.

GIAA menyebut setiap lessor memiliki cara, kepentingan, dan harapan yang berbeda, sehingga tidak ada persamaan satu lessor dengan lainnya yang membuat negosiasi bersifat unik.

Ke depan, GIAA akan tetap melakukan pengawasan terhadap pemulihan pasar baik domestik maupun internasional dalam menentukan produksi agar sesuai dengan kebutuhan. Termasuk, memperhatikan pembukaan rute penerbangan untuk kembali melayani umrah ke Arab Saudi yang dikabarkan akan kembali dibuka dalam waktu dekat.

Fokus pada produk kargo akan dioptimalkan mengingat permintaan masih tinggi serta melakukan penyesuaian kebutuhan rute yang akan diselaraskan dengan ketersediaan armada aktif perseroan.

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020 yang dikutip Minggu (18/7/2021), emiten bersandi GIAA ini mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$1,49 miliar turun 67,36 persen dibandingkan dengan 2019 yang mencapai US$4,57 miliar.

Penurunan pendapatan terutama pada lini bisnis penerbangan berjadwal dari US$3,77 miliar menjadi hanya US$1,2 miliar.

Pendapatan lini bisnis penerbangan tidak berjadwal pun turun menjadi US$77,24 juta dari US$249,9 juta dan pendapatan lainnya juga turun menjadi US$214,41 juta dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$549,33 juta.

Di sisi lain, beban usaha perseroan tetap tinggi dengan total US$3,3 miliar turun dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$4,45 miliar. Sayangnya, penurunan ini tidak dapat menanggulangi anjloknya pendapatan perseroan.

Beban usaha lainnya meningkat menjadi US$391,56 juta lebih tinggi dari 2019 yang hanya US$19,6 juta.

Dengan demikian, perseroan mencatatkan rugi usaha US$2,2 miliar berbanding terbalik dari 2019 yang mencatatkan laba usaha US$95,98 juta.

Adapun, rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias rugi bersih mencapai US$2,44 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rugi bersih pada 2019 yang sebesar US$38,93 juta.

Perseroan pun mencatatkan ekuitas negatif pada 2020 sebesar US$1,94 miliar berbanding terbalik dari 2019 yang ekuitasnya positif US$582,57 juta.

Perubahan menjadi negatif ini akibat meningkatnya saldo defisit sebesar US$1,38 miliar pada 1 Januari 2021 yang telah dieliminasi dalam rangka kuasi reorganisasi dan yang belum dicadangkan meningkat menjadi sebesar US$3,26 miliar dari posisi US$799,66 juta.

Di sisi lain, total liabilitas perseroan juga membengkak menjadi US$12,73 miliar naik 228,75 persen dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$3,87 miliar.

Kenaikan tersebut akibat membengkaknya liabilitas jangka panjang menjadi US$8,43 miliar dari posisi US$477,21 juta. Hal ini karena PSAK 71 yang membuat liabilitas sewa membengkak menjadi US$4,49 miliar.

Liabilitas jangka pendek juga meningkat menjadi US$4,29 miliar dari posisi US$3,39 miliar pada 2019. Pembengkakan terjadi pada liabilitas sewa yang naik menjadi US$1,5 miliar dari hanya US$52,53 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper