Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jika Lancar, Kinerja Garuda Indonesia (GIAA) Baru Pulih 4 Tahun Lagi

Perseroan mengungkapkan, pandemi Covid-19 berdampak sangat signifikan terhadap kinerja secara keseluruhan.
Garuda Indonesia Bermasker /Garuda Indonesia
Garuda Indonesia Bermasker /Garuda Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA - Emiten BUMN penerbangan, PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) masih dalam upaya restrukturisasi utang dan penurunan pendapatan akibat PPKM. Jika lancar, perseroan dapat kembali ke kinerja positifnya dalam empat tahun mendatang.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan berdasarkan kinerja operasional, industri penerbangan di Asia Pasifik mengalami kontraksi yang sangat dalam pada era pandemi Covid-19.

Pada 2020, terjadi penurunan trafik penumpang (Revenue Pax-kilometer/RPK) yang juga terkontraksi dalam sebesar 99,75 persen. Hal ini menyebabkan tingkat keterisian pesawat pada industri penerbangan di Asia Pasifik mengalami penurunan tajam minus 39,67 persen.

Jumlah trafik penumpang di Indonesia pada 2020 juga mengalami penurunan tajam sebesar 69,6 persen dibandingkan dengan sebelum Covid-19.

Penurunan tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata penurunan industri penerbangan di Asia Pasifik. Kekuatan potensi pasar domestik di Indonesia menjadi support system yang penting bagi industri penerbangan di Indonesia.

Tak dapat dielakkan, kinerja operasional Garuda Indonesia Group juga sangat terdampak pada saat pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia.

"Di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian ini, Garuda Indonesia dituntut untuk senantiasa agile dan resilience dalam upaya mempercepat pemulihan kinerja menghadapi dampak pandemi yang proses pemulihannya diproyeksikan baru akan berlangsung 3-4 tahun mendatang," ungkapnya dalam Laporan Tahunan Perseroan, dikutip Jumat (23/7/2021).

Penurunan demand layanan penerbangan, urainya, membuat Garuda Indonesia harus kian cermat dan adaptif dalam melihat kesempatan guna menciptakan momentum titik balik bagi perseroan.

Sepanjang 2020, perseroan mencatatkan penurunan kinerja usaha yang signifikan khususnya dari capaian angkutan penumpang. Hal tersebut merupakan imbas adanya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat maupun penutupan sejumlah wilayah sebagai dampak situasi pandemi yang terjadi.

Lebih dari itu, karakteristik usaha industri penerbangan yang memiliki cost structure dengan dominansi fixed cost, menjadikan beban usaha Perseroan turut meningkat menyusul ketidakseimbangan faktor supply dan demand yang ada.

Dengan kebutuhan kapital yang besar dan nilai margin keuntungan yang sangat tipis, sektor penerbangan menghadapi tantangan kinerja yang sangat besar.

Sebelum masa pandemi, Garuda Indonesia melayani sedikitnya 500-600 penerbangan setiap harinya. Sedangkan di masa pandemi ini, Perseroan hanya melayani rata-rata 150 penerbangan per harinya.

Terlebih pada puncak pandemi yang terjadi sekitar Mei 2020 lalu, pada saat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan bermobilitas yang ketat, perseroan turut mencatatkan penurunan trafik penerbangan hingga mencapai 90 persen di mana per harinya Garuda Indonesia hanya melayani 10-15 penerbangan.

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020, emiten bersandi GIAA ini mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$1,49 miliar turun 67,36 persen dibandingkan dengan 2019 yang mencapai US$4,57 miliar.

Penurunan pendapatan terutama pada lini bisnis penerbangan berjadwal dari US$3,77 miliar menjadi hanya US$1,2 miliar.

Pendapatan lini bisnis penerbangan tidak berjadwal pun turun menjadi US$77,24 juta dari US$249,9 juta dan pendapatan lainnya juga turun menjadi US$214,41 juta dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$549,33 juta.

Di sisi lain, beban usaha perseroan tetap tinggi dengan total US$3,3 miliar turun dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$4,45 miliar. Sayangnya, penurunan ini tidak dapat menanggulangi anjloknya pendapatan perseroan.

Di sisi lain, beban usaha lainnya meningkat menjadi US$391,56 juta lebih tinggi dari 2019 yang hanya US$19,6 juta.

Dengan demikian, perseroan mencatatkan rugi usaha US$2,2 miliar berbanding terbalik dari 2019 yang mencatatkan laba usaha US$95,98 juta.

Adapun, rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias rugi bersih mencapai US$2,44 miliar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rugi bersih pada 2019 yang sebesar US$38,93 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper