Bisnis.com, JAKARTA – Pengetatan likuiditas oleh The Fed dan popularitas aset kripto menjadi pemicu kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung stagnan sepanjang semester I/2021.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menjelaskan sepanjang semester I/2021, IHSG ditutup flat atau hanya menguat tipis 0,11 persen. Padahal di awal tahun IHSG sempat menguat 8,8 persen atau 525 poin ke level 6.504.
Ia memaparkan, euforia pemulihan ekonomi global seiring dengan realisasi proses vaksinasi virus corona mulai terlihat pada pekan pertama Januari 2021. Kondisi ini mampu menggairahkan pasar domestik.
“Bursa kebanjiran investor ritel , transaksi naik signikan mencapai Rp18 triliun– Rp20 triliun per hari. Apalagi diawal tahun investor asing sangat agresif dengan catatan net buy mencapai Rp10,9 triliun,” jelasnya saat dihubungi pada Rabu (30/6/2021).
Namun, setelah itu sentimen profit taking yang dimotori saham farmasi membuat investor ritel panik. Hal ini juga ditambah dengan isu pengetatan likuiditas oleh The Fed karena angka inflasi dan PDB yang naik signifikan.
Katalis negatif lain yang memicu pelemahan IHSG pada paruh pertama tahun 2021 adalah kenaikan popularitas aset kripto yang mengalihkan fokus investor milenial.
Baca Juga
Selain itu, sentimen domestik seperti kontraksi angka PDB Indonesia, penurunan porsi investasi saham investor institusi besar seperti BPJS Ketenagakerjaan, serta meledaknya kasus virus corona di bulan Juni membuat IHSG kembali ke posisi akhir tahun lalu.
Menurut Alfred, pergerakan IHSG pada semester II/2021 masih akan positif. Hal tersebut salah satunya ditopang oleh tren bulish di bursa Amerika dan Eropa serta melesatnya harga komoditas ke level tertinggi sejak tahun 2011
Performa pasar domestik juga akan dipengaruhi oleh prospek pemulihan ekonomi global yang akan berlanjut untuk data kuartal II dan III.
“Proses vaksinasi, baik di Indonesia maupun negara lain, akan mempercepat kembali normalnya kegiatan ekonomi,” katanya.
Kinerja IHSG juga akan ditopang oleh performa emiten-emiten pada kuartal II/2021 yang akan mulai terlihat pada laporan keuangannya di Akhir Juli – Awal Agustus.
Performa emiten kuartal II/2021 akan menggunakan perbandingan performa kuartal II/2020 yang merupakan performa level terendah atau terparah akibat dampak Covid.
Di sisi lain, pelaku pasar juga akan memperhatikan pengendalian pandemi virus corona di tanah air. Menurut Alfred, jika PPKM Darurat berlangsung lama akan mempengaruhi pencapaian target PDB Indonesia di kuartal III/2021 serta target pertumbuhan akhir tahun.
Sedangkan, dari luar negeri, wacana kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed juga dapat menekan IHSG pada semester II/2021. Hal tersebut juga ditambah dengan kembali munculnya wacana taper tantrum di akhir tahun.
“Secara historis taper tantrum punya dampak yang besar terhadap penurunan bursa saham kita,” imbuhnya.
Adapun, Alfred telah merevisi proyeksi kisaran IHSG untuk akhir tahun 2021. Pihaknya akan menunggu seberapa cepat pemerintah dapat menangani gelombang ke-2 pandemi virus corona sehingga dampaknya terhadap pencapaian ekonomi tidak terlalu jauh bergeser
“Target kami diawal untuk IHSG adalah 6.700–7.000, kami masih mempertahankan target tersebut namun pada rentang bawah. IHSG kami perkirakan akan bergerak dalam rentang 5.700–6.700,” jelasnya.
Sementara itu, Alfred menjagokan saham-saham dari sektor komoditi, telekomunikasi, konsumsi dan kesehatan untuk semester II/2021. Menurutnya, sektor-sektor tersebut masih memiliki potensi yang menjanjikan sepanjang tahun 2021 dan 2022 mendatang.