Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Obligasi Indonesia Dinilai Paling Rentan dengan Kenaikan US Treasury

Penilaian ini berdasarkan analisis yang dilakukan Bloomberg tentang periode kenaikan imbal hasil disesuaikan dengan inflasi di AS yang didorong oleh optimisme atas pertumbuhan dan ekspektasi normalisasi Federal Reserve.
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam
Ilustrasi OBLIGASI. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Obligasi di Indonesia menjadi yang paling berisiko di Asia karena tingkat kenaikan imbal hasil riil atau real yield Amerika Serikat (AS), berdasarkan sebuah studi.

Penilaian ini berdasarkan analisis yang dilakukan Bloomberg tentang periode kenaikan imbal hasil disesuaikan dengan inflasi di AS yang didorong oleh optimisme atas pertumbuhan dan ekspektasi normalisasi Federal Reserve.

Mengutip Bloomberg, Jumat (14/5/2021), hasil analisis data tersebut menunjukkan obligasi Indonesia adalah yang paling rentan, dengan skor-z 4,51. Setelah Indonesia, di posisi berikutnya yang dinilai paling rentan yakni Thailand dengan skor 2,69.

Lonjakan imbal hasil riil AS cenderung mendorong dolar, yang berdampak relatif besar pada beta tinggi rupiah. Mata uang Indonesia pun rata-rata melemah sekitar 4 persen selama lima periode yang digunakan untuk penelitian, dibandingkan dengan rata-rata 2 persen untuk lima negara Asia lainnya.

Sementara itu, dilihat dari sisi inflasi AS, obligasi di Korea Selatan dan Thailand dinilai menjadi yang paling berisiko di antara negara-negara lain di Asia karena ekspekasi kenaikan inflasi AS. 

Pasalnya, utang dari kedua negara tersebut telah menjadi yang paling sensitif terhadap episode lalu ketika tingkat pendapatan atau break-even rates Amerika melonjak, berdasarkan lima skenario yang dimulai pada tahun 2011. Obligasi Korea Selatan menunjukkan skor-z yaitu 0,81, sedangkan Thailand 0,77, lebih tinggi jika dibandingkan dengan China dengan hanya 0,09 dan serta minus 0,01 di India.

Kerentanan obligasi Korea Selatan dan Thailand dapat dikaitkan dengan penyebaran yang ketat dari imbal hasil mereka atas US Treasury, dan juga kerentanan mereka terhadap inflasi impor karena ketergantungan mereka yang relatif tinggi pada impor energi.

Ekspektasi inflasi semakin tinggi di seluruh dunia karena rekor stimulus bank sentral telah menciptakan gunung likuiditas yang mulai masuk ke dalam harga konsumen.

Tingkat break-even rate 10 tahun AS, yang mengukur ekspektasi untuk inflasi di masa depan, naik setinggi 2,59 persen pekan ini, dari hanya 0,47 persen pada Maret tahun lalu. Kekhawatiran itu meningkat minggu ini dengan angka inflasi AS yang lebih cepat dari perkiraan untuk April.

“Kita bisa mendapatkan break-even yang lebih tinggi dan nominal yang lebih tinggi jika Federal Reserve tidak hanya membiarkan inflasi melampaui batas, tetapi juga memungkinkan ekonomi AS menjadi panas,” kata Duncan Tan, ahli strategi suku bunga di DBS Bank Ltd. di Singapura.

Menurutnya skenario itu kurang jelas, tetapi setidaknya sedikit merugikan obligasi Asia yang sedang berkembang.

Oleh karena itu, tampaknya prospek langsung untuk obligasi Asia yang sedang berkembang akan berbeda tergantung pada apakah ada pergerakan yang lebih besar di AS dalam tingkat impas atau imbal hasil nyata.

Apa pun itu, semua tanda menunjukkan bahwa masih akan ada banyak fokus pada data indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) di masa mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper