Bisnis.com, JAKARTA - Tren sell in May and go away tampaknya benar-benar akan terjadi pada Mei 2021 kali ini. Waktu yang bertepatan dengan Lebaran dan minim sentimen pendorong dapat menjadi katalis negatif bagi transaksi di bursa.
Sejak 2009, hanya ada 5 bulan Mei yang ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot sepanjang, yakni bulan Mei pada 2010, 2012, 2016, 2018, dan 2019. Adapun, penurunan paling dalam terjadi pada Mei 2012 yang IHSG terkoreksi 8,3 persen.
Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menilai akan terulang lagi tren sell in May and go away, karena sepi sentimen yang berarti untuk menyokong IHSG lebih tinggi.
"Laporan keuangan kuartal I/2021 sudah diekspektasikan memang jelek, PDB kuartal I/2021 Indonesia juga memang jelek. Kalau pun kuartal I/2021 tahunannya jelek, tetapi kuartal ke kuartalnya juga tidak improve walau hanya beberapa emiten yang beyond ekspektasi seperti BTPS dan BBTN misalnya," jelasnya kepada Bisnis, Selasa ((4/5/2021).
Selain itu, munculnya faktor eksternal, yield surat utang negara (SUN) USA yang 10 tahun tampaknya akan naik minimal ke 1,8 persen-1,9 persen.
Kenaikan yield US treasury tersebut tidak akan baik untuk IHSG karena SUN yield Indonesia juga akan naik. Akibatnya valuasi saham akan turun.
Baca Juga
Namun, memasuki kuartal II/2021 dia menyebut masih ada harapan karena PDB kuartal II/2021 akan mencapai 7 persen karena basis yang rendah pada tahun lalu dan earning per share growth kuartal II/2021 juga akan melompat signifikan.
"Jadi menunggu IHSG koreksi minimal di 5.700. Rekomendasinya buy on weakness [BoW] ASII Rp5.300 dengan TP [target price] Rp6.700, BBRI BoW Rp3.900 dengan TP Rp4.700 dan INCO BoW Rp3.800 dengan TP Rp5.100," katanya.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.