Bisnis.com, JAKARTA – Harga nikel terkoreksi ke level terendahnya dalam lebih dari dua pekan menyusul sikap investor yang mempertimbangkan potensi penambahan pasokan dari Filipina.
Peluang kenaikan harga komoditas ini masih cukup terbuka sepanjang tahun meskipun dibayangi sejumlah sentimen negatif yang dapat memicu koreksi signifikan.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (19/4/2021) harga nikel pada bursa Shanghai, China sempat terkoreksi hingga 2,2 persen ke US$16.010 per metrik ton. Catatan tersebut merupakan posisi terendah nikel sejak 1 April lalu.
Sementara itu, harga nikel pada London Metal Exchange (LME) terpantau turun tipis 0,01 persen ke level US$16.363 per metrik ton. Secara year to date (ytd), harga komoditas ini telah terkoreksi sebesar 1,50 persen.
Salah satu katalis negatif untuk pergerakan harga nikel adalah penghapusan moratorium untuk kontrak pertambangan nikel baru. Kebijakan ini disahkan oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte guna menambah pemasukan negara.
Kebijakan moratorium tersebut diberlakukan oleh pendahulu Duterte, Benigno Aquino pada 2021 lalu. Kini, pemerintah Filipina dapat memberikan izin untuk kontraktor-kontraktor yang tertarik untuk melakukan penambangan nikel di negara tersebut.
Baca Juga
Filipina merupakan salah satu negara eksportir bijih nikel utama untuk China. Hal ini terjadi ditengah terbatasnya pasokan akibat terhentinya kegiatan pada sejumlah tambang nikel karena pembatasan terkait dampak lingkungan.
Di sisi lain, Analis Antaike Information Development Co. Ltd., Chen Ruirui menyebutkan diangkatnya moratorium di Filipina tidak akan mempengaruhi pasokan nikel dunia secara signifikan. Menurutnya, potensi pertumbuhan produksi untuk tambang yang sudah atau ataupun yang baru cenderung terbatas.
“Nikel dari Filipina juga kurang menarik dibandingkan nikel produksi Indonesia, yang memiliki kualitas lebih baik dan rantai industri yang lebih optimal,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan, koreksi harga yang tengah dialami menjadikan nikel sebagai salah satu komoditas dengan kinerja paling lemah sejauh ini. Menurutnya, salah satu sentimen utama yang mempengaruhi harga nikel saat ini adalah kekhawatiran China terhadap lonjakan harga komoditas.
Sebelumnya, Perdana Menteri China, Li Keqiang menekankan pentingnya perbaikan regulasi pada pasar bahan mentah. Hal ini dilakukan guna menekan biaya yang ditanggung perusahaan ditengah reli harga komoditas.
Wakil Perdana Menteri China Liu He yang mengepalai Komisi Pengembangan dan Stabilitas Finansial mengatakan hal serupa beberapa waktu lalu. Liu He mengingatkan pentingnya menjaga level harga setelah producer price inflation naik 4 persen, atau laju inflasi tercepat dalam hampir tiga tahun terakhir.
“Selain itu, kabar dari Filipina terkait moratorium nikel juga dapat memicu penambahan pasokan. Hal ini akan memperberat pergerakan harga,” katanya saat dihubungi, Senin (19/4/2021).
Ia menjelaskan, sejumlah sentimen seperti reflationary trade, isu vaksin virus corona, dan stimulus dari pemerintah AS telah diperhitungkan (priced-in) oleh pasar. Harga nikel yang sebelumnya menguat didorong oleh berbagai ekspektasi yang telah berlangsung sejak kuartal II/2020 lalu.
“Saat ini, pergerakan harga nikel sedang berada pada fase tarik-menarik antar sentimen. Pada satu sisi, penguatan dolar AS yang didukung oleh prospek pemulihan ekonomi serta kekhawatiran terkait naiknya inflasi. Di sisi lain, pemulihan ekonomi global akan memicu pemulihan permintaan nikel,” jelasnya.
Wahyu menuturkan, peluang penguatan harga nikel sepanjang 2021 masih cukup terbuka. Meski demikian, level harga nikel yang terbilang tinggi dan sentimen pasar yang didera kecemasan inflasi berpotensi memicu koreksi yang cukup dalam.
Sepanjang semester I/2021, Wahyu memprediksi harga nikel berada di level US$14.000 hingga US$18.000 per ton. Sementara, untuk tahun 2021, rentang harga komoditas ini berada di US$13.000 hingga US$21.000 per ton.
Sementara itu, laporan dari BMO mengatakan, komentar Liu He dan Li Keqiang merupakan indikasi kekhawatiran kenaikan inflasi telah menjadi perhatian pemerintah China. Hal tersebut terutama setelah kenaikan terjadi pada konsumen di sisi hilir.
Laporan tersebut menjelaskan, pemerintah China kemungkinan akan meningkatkan kemampuan swasembada logam-logam dasar. Pengembangan ini juga mencakup akuisisi nikel dari luar negeri pada harga yang lebih rendah.
“Pemerintah China kemungkinan tidak akan melepas cadangan logamnya secara signifikan. Namun, sentimen ini diprediksi tetap bergaung untuk mengirimkan sinyal ke pasar,” demikian kutipan laporan tersebut.