Bisnis.com, JAKARTA - Analis memperkirakan lonjakan imbal hasil Treasury AS belakangan ini tidak akan mengulang sejarah tantrum yang terjadi akibat tapering off pada 2013.
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen, menjelaskan kenaikan yield Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun mengikuti lonjakan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun kali ini lebih terbatas.
“Yang menarik adalah sepanjang tahun berjalan, imbal hasil obligasi Indonesia hanya mengalami peningkatan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil Treasury AS,” kata Ezra dalam catatan, dikutip Minggu (14/3/2021).
Melihat ke belakang, saat terjadi taper tantrum pada 2013 imbal hasil SUN naik berlipat ganda dari kenaikan yield Treasury AS. Kala itu, terjadi realokasi aset besar-besaran dari negara berkembang menuju negara maju.
Ezra mengatakan kondisi saat ini mencerminkan perbaikan fundamental Indonesia lebih dihargai oleh investor asing. Lagipula, 'tantrum' yang terpantik belakangan ini juga lebih disebabkan oleh refleksi perbaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS bukan karena tapering off sebenarnya.
Sebelumnya, Bank Sentral AS (Federal Reserve) meyakinkan pasar bahwa sinyal kenaikan inflasi tidak akan serta-merta membuat The Fed mengurangi kebijakan akomodatifnya.
Baca Juga
Apabila benar demikian, Ezra menilai aset di negara berkembang seperti di Indonesia masih akan menarik dan bisa menguat lagi.
Senada, Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menilai investor asing sebenarnya masih berminat masuk ke Indonesia karena menawarkan imbal hasil yang kompetitif dibandingkan dengan negara berkembang lainya.
“Kami melihat peluang pada pasar obligasi masih ada dengan kisaran yield 6,5 persen -7 persen untuk SUN tenor 10 tahun pada akhir 2021,” kata Faiz pekan lalu.
Faiz juga percaya bahwa kebijakan The Fed belum akan berubah dalam waktu dekat sebelum indikator pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam benar-benar solid.