Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lonjakan Imbal Hasil Obligasi AS Tak Bertahan Lama. Ini Alasannya!

Walaupun secara keseluruhan inflasi AS untuk tahun ini diperkirakan naik, namun karena sektor tenaga kerja AS—yang memiliki kontribusi besar terhadap ekonomi—masih belum pulih, maka sulit membuat angka inflasi naik secara berkesinambungan.
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/3/2020). Bloomberg/Andrew Harrer
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/3/2020). Bloomberg/Andrew Harrer

Bisnis.com, JAKARTA - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia memperkirakan reaksi di pasar keuangan akibat lonjakan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun atau US Treasury hanya sementara.

Adapun, imbal hasil atau yield US Treasury AS melonjak setelah Presiden AS Joe Biden menggelontorkan stimulus jumbo US$1,9 triliun yang bakal dapat menggairahkan perekonomian dan mengerek inflasi.

Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Ezra Nazula menjelaskan terdapat beberapa faktor yang bisa membuat proses tapering atau pengetatan tidak akan secepat yang dikhawatirkan.

“Walaupun secara keseluruhan inflasi AS untuk tahun ini diperkirakan naik, namun karena sektor tenaga kerja AS—yang memiliki kontribusi besar terhadap ekonomi—masih belum pulih, maka sulit membuat angka inflasi naik secara berkesinambungan,” kata Ezra dalam catatan, dikutip Minggu (14/3/2021).

Ezra melihat tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam masih tinggi pada level 6,3 persen. Bahkan, tingkat pengangguran sebenarnya bisa lebih tinggi lagi dengan memperhitungkan angkatan kerja yang sudah tidak mencari kerja (shadow unemployment).

Dengan demikian, harusnya pelaku pasar tidak perlu terlalu khawatir sehingga memindahkan asetnya dari negara berkembang ke negara maju dan melonjakkan yield US Treasury.

“Tentu akan menjadi pilihan yang lebih bijak bagi investor untuk tidak mendahului bank sentral dalam mengantisipasi pengetatan moneter,” kata Ezra.

Sebelumnya, pasar khawatir ketika stimulus mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi selanjutnya Bank Sentral AS (Federal Reserve) akan melakukan pengetatan seperti menaikkan suku bunga acuan dan menghentikan pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Hal ini terjadi ketika krisis keuangan global pada 2008 terjadi dan otoritas di AS membanjiri pasar dengan likuiditas. Setelah inflasi perlahan naik, Bank Sentral AS melakukan pengetatan yang menyebabkan taper tantrum pada 2013.

Dalam situasi sekarang Ketua Federal Reserve Jerome Powell pun berkali-kali mencoba meredam pasar. Dia menyebut bank sentral masih akan mempertahankan kebijakan akomodatif dan tren inflasi rendah diperkirakan terus berlanjut.

“The Fed mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi mengalami moderasi khususnya pada sektor yang paling terdampak pandemi sehingga kenaikan suku bunga dan pengurangan QE masih belum berada dalam radar The Fed,” kata Ezra. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper