Bisnis.com, JAKARTA - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menyatakan tetap membatasi tingkat keterisian pesawat kendati pemerintah membolehkan maskapai untuk mengisi penuh kapasitas penumpang. Emiten bersandi saham GIAA itu memilih menjaga tingkat kenyamanan penumpang ketimbang menggenjot keterisian.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menuturkan saat ini pihaknya rata-rata menampung penumpang dengan kapasitas per pesawat berkisar 63 persen. Jumlah tersebut masih lebih rendah dari minimal break even point (BEP) maskapai di rata-rata okupansi 70 persen.
"Kalau dipaksakan 100 persen, kami khawatir masyarakat tidak naik Garuda lagi. Ini diferensiasi kami karena kalau sudah begitu pengaruh ke performance bukan hanya revenue, tapi juga cost," ujarnya Selasa (19/1/2021).
Irfan menerangkan, GIAA memilih mengurangi berbagai biaya yang jadi beban perusahaan. Salah satunya melakukan negosiasi terhadap lessor pesawat, para vendor lainnya juga.Setiap bulan, efisiensi dari diperoleh menapi US$15 juta.
"Kami pastikan lebih murah, negosiasi dengan lessor, vendor lain juga agar pastikan biaya kami dalam standar industri yang wajar sehingga kami fokus ke revenue. Kami juga fokus ke kargo dan carter," ungkapnya.
Di sisi lain, GIAA terangnya, tidak terlalu memusingkan aturan load factor penerbangan yang meningkat bisa di atas 70 persen. Pasalnya, tetap saja prinsip jaga jarak harus tetap dapat dilakukan di pesawat.
Irfan mengaku mengerti latar belakang adanya aturan mengenai pembatasan kapasitas penerbangan. Pihaknya tetap menerapkan maksimal 70 persen penumpang dan tidak lebih dari itu guna menjaga ruang antar penumpang tetap terjadi.
"Kami akan terapkan distancing di dalam pesawat selama ini kami lakukan. Ada jarak di tengah, sehingga tidak akan memenuhi pesawat sesuai dengan apa yang dibolehkan," katanya.
Dia menuturkan dengan adanya saringan HEPA dapat membuat rasa aman bagi penumpang. Sementara menjaga jarak menjadi bagian tambahan, tetapi dalam kasus tertentu seperti berangkat bersama satu keluarga diizinkan tidak melakukan prinsip physical distancing.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III/2020, perseroan mengalami rugi bersih sebesar US$1,07 miliar atau Rp16,03 triliun. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III/2019 saat Garuda Indonesia meraup laba bersih US$122,42 juta.
Pada perdagangan sesi pertama hari ini, Selasa (19/1/2021), saham GIAA terpantau turun 1 persen ke level 398. Total perdagangan saham GIAA mencapai 55,5 juta lembar dengan nilai transaksi Rp21,93 miliar.