Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak stabil mendekati US$52 per barel di pasar Asia setelah merosot ke level harga terparah dalam empat minggu karena kombinasi data ekonomi AS yang lebih lemah, dolar AS yang menguat, dan virus Corona.
Kontrak minyak mentah di New York turun tipis setelah jatuh 2,3 persen pada hari Jumat lalu (15/1/2021).
Sentimen konsumen AS mendingin lebih dari yang diperkirakan pada bulan Januari, sementara data menunjukkan penjualan ritel dan harga produsen yang lesu juga menyoroti hambatan yang dihadapi ekonomi terbesar dunia saat pulih dari virus. Dolar AS menguat pada minggu lalu sehingga mengurangi daya tarik komoditas yang dihargai dalam mata uang tersebut.
Covid-19 terus menyebar dengan cepat dan mempersulit pemulihan global dalam permintaan energi. Sejalan dengan kondisi ini, AS akan mendekat 400.000 kematian sebelum pelantikan Presiden terpilih Joe Biden pada hari Rabu (20/1/2021). Sementara itu, Inggris menutup koridor perjalanannya dengan negara-negara di seluruh dunia karena kasus-kasus meningkat.
Minyak mentah masih berhasil mendapatkan peningkatan tipis minggu lalu, sebagian dibantu oleh penyeimbangan kembali indeks komoditas dan janji belanja stimulus lebih banyak di AS.
Namun, paket bantuan US$1,9 triliun yang diusulkan Biden menjadi inisiatif yang bakal ditentang oleh banyak Republikan dan dapat mengarah ke pertarungan legislatif yang berlarut-larut.
Baca Juga
Sementara itu, produksi minyak Libya telah turun sekitar 200.000 barel sehari setelah penutupan pipa bocor, menggarisbawahi betapa sulitnya bagi negara itu untuk mempertahankan produksinya setelah hampir satu dekade perang saudara.