Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas mencetak penurunan terbesar dalam dua bulan terakhir seiring dengan kenaikan mata uang dolar Amerika Serikat. Emas merana saat pasar saham bullish dan imbal hasil obligasi AS menguat.
Dilansir dari Bloomberg, harga emas sempat bikin happy karena menembus level US$1.900 per troy ounce. Namun, pamor itu segera redup begitu imbal hasil obligasi AS naik ke level 1 persen, tertinggi sejak Maret 2020. Di sisi lain, indeks S&P 500 mencetak rekor baru pada akhir pekan lau.
Harga emas spot turun 1,7 persen ke level US$1.817,4 per ounce, terendah sejak 2 Desember 2020 pada pukul 10.57 Waktu Singapura. Pada Jumat (11/1/2021), emas juga anjlok 3,4 persen, terbesar sejak 9 November 2020. Harga perak, platinum dan paladium semuanya jatuh karena Indeks Spot Dolar Bloomberg naik 0,4 persen.
Sepanjang 2020, emas mencetak kenaikan 25 persen, terbesar dalam satu dekade terakhir akibat pandemi dan kucuran stimulus bank sentral global. Namun situasi kini berbeda. Vaksin COvid-19 sudah mulai didistribusikan dan menjadi pertimbangan utama para pelaku pasar komoditas emas.
Faktor stimulus, pergeseran ekspektasi inflasi, dan peralihan ke aset berisiko juga menjadi faktor yang mempengaruhi harga emas. Presiden AS terpilih Joe Biden ada pekan lalu menyerukan bantuan triliunan dolar untuk warga AS.
Stimulus itu termasuk bantuan pembayaran langsung setelah pendapatan pekerja AS turun untuk pertama kalinya sejak April. Biden akan menyampaikan proposal stimulus itu pada 20 Januari 2021, sebelum dilantik secara resmi sebagai Presiden AS.
Baca Juga
Emas melanjutkan tren negatif setelah mata uang negeri Paman Sam dan imbal hasil obligasi menguat. Ekonom OCBC Howie Lee menggambarkan tren tersebut bagai menuangkan air dingin ke emas saat ini.
"Meningkatnya ekspektasi inflasi dan imbal hasil lebih tinggi menarik emas ke arah yang berbeda saat ini. Emas akan sideways saat ini tapi jika ekspektasi inflasi meningkat, kemungkinan bakal naik lagi di akhir tahun," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (11/1/2021).