Bisnis.com, JAKARTA - Pantang minder menjadi moto Fendi Kurniawanto. Bermodalkan ide dan ketertarikan, ia menjadi perajin wayang kulit, meneruskan usaha sang kakek. Artis hingga konsumen mancanegara pun kepincut karyanya.
Sejak lahir, dunia Fendi memang sudah dikelilingi oleh budaya tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah. Kakeknya seorang pembuat wayang kulit andal pada zamannya, dan hidup dari karyakaryanya.
Ia sangat mengagumi sang kakek. Masih jelas terpatri di kepalanya hingga saat ini, ketika kakeknya dapat membuat dan memahat kulit wayang tanpa pola cetakan.
Padahal, membuat wayang kulit secara spontan bukanlah hal yang mudah, bahkan untuk orang yang sudah sering membuat wayang kulit sekali pun. Mereka akan tetap membutuhkan pola cetakan sebelum memahat.
“Dulu, tahun 70-an, Simbah membuat wayang setengah jadi. Beliau setor saja ke tempat lain yang prosesnya lebih lengkap. Simbah juga hanya membuat wayang kulit yang besar- besar untuk pentas. Itu saja,” cerita Fendi.
Ketika itu usaha kakeknya dianggap cukup menjanjikan untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Fendi pun dibantu oleh sang ayah, Mujiyono yang menjadi Mitra Binaan Pertamina pada tahun 2009, memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarga tersebut.
Mereka menerapkan sebuah strategi sederhana. Sang ayah yang mengerjakan pembuatan wayang kulit, sedang kan Fendi yang ketika itu masih sekolah, bertugas memasarkan produknya. Hal itu terus ia lakukan sampai memasuki jenjang kuliah. Fendi megakui, strategi ini cukup berhasil pada awalnya.
Namun, semakin modernnya perkembangan zaman, yang kadang memandang hal tradisional adalah sesuatu yang kuno, akhirnya usahanya mulai tergerus.
Karena kondisi itulah, Fendi dan sang ayah bersama beberapa perajin wayang kulit lainnya mulai berinovasi. “Kami tidak hanya membuat wayang kulit untuk pentas dalang saja, tetapi juga mulai merambah ke dunia souvenir yang bentuknya macam-macam agar tetap bertahan,” ujar pemuda lulusan Manajemen, salah satu universitas di kota pelajar ini.
Setelah terseok selama beberapa tahun, usaha tersebut sedikit mengalami perkembangan pada tahun 2000 silam, Fendi dan sang ayah mulai merekrut karyawan dari masyarakat sekitar dan membeli beberapa alat produksi, sehingga proses produksi kerajinan kulit seperti wayang dapat dikerjakan hingga selesai tidak setengah jadi.
Kerajinan souvenir, seperti kipas, gantungan kunci, dan lain-lain mulai dibuat dengan tetap menggunakan bahan dasar kulit. Kulit yang digunakan untuk membuat kerajinan juga bermacam-macam mulai dari kambing, sapi hingga kerbau.
Fendi menuturkan, kulit kerbau biasanya digunakan untuk membuat wayang kulit pentas yang digunakan seorang dalang asli. “Bahannya memang kuat dan mahal,” jelasnya.
Fendi cukup senang dengan perubahan yang terjadi. Akan tetapi ia masih belum puas, dengan hasrat berdagangnya yang tak pernah redup. Ia merasa masih cukup sulit untuk berhubungan dengan konsumen langsung, baik itu pasar lokal maupun intenasional.
Barulah sekitar tahun 2011 silam, Fendi mendapatkan titik terang. Hal itu ia rasakan ketika Sanggar Bima bermitra dengan Pertamina. “Kami mengalami banyak perubahan. Dari segi promosi dan penjualan, semuanya meningkat. Seperti saat ini, kami diajak pameran. Bahkan tahun 2011 lalu, kami diajak pameran ke Belanda,” ujar Fendi sumringah.
Fendi sangat mensyukuri kemitraan tersebut. Karena awal bekerja sama, Fendi hanya mengharapkan adanya pintu masuk untuk melakukan promosi yang lebih luas dan gencar.
Ternyata, bantuan modal yang ia terima pun membantu sekali dalam pengembangan usahanya, terutama dalam hal menyetok bahan baku dalam jumlah besar. Bahkan, Fendi pun mulai mengembangkan bisnisnya dengan adanya produksi serupa yang ia beri nama Sanggar Arjuna.
Hingga kini, Fendi bersama keluarga menjalankan bisnis tersebut dibantu dengan 10 orang karyawan. Ada yang langsung membantu di rumah produksi, ada pula yang menerapkan sistem setor dengan dibawa pulang.
Produknya dijual dengan harga paling murah Rp 20 ribu untuk gantungan kunci dan paling mahal Rp 2,5 juta untuk wayang berukuran besar. Dengan harga itu, Fendi mampu meraup omzet sekitar Rp 15 hingga Rp 25 juta per bulannya.
Souvenir kerajinan kulit yang ia buat pun semakin beragam, selain wayang tentunya, ia juga membuat seperti kipas lipat, pembatas buku, gantungan mobil, tempat lampu, tempat lilin dan berbagai hiasan dinding. Bahkan dengan bangga ia cerita, kipas lipat produksinya pun dipesan artis Ayu Dewi untuk aksesoris dan souvenir pernikahan presenter tersebut.
Saat ini, Fendi optimis untuk mengembang kan pemasaran usahanya secara online, untuk memenuhi targetnya tersebut ia akan fokus pada stok bahan baku yang jumlahnya harus lebih banyak lagi.
Walaupun tidak mudah, Fendi tidak menyerah begitu saja. Baginya, usaha kerajinan kulit Sanggar Bima ini merupakan usaha turun-temurun yang ia banggakan karena ikut melestarikan budaya Indonesia. Ia juga yakin, dapat mengembangkan usahanya. Tentu dibina oleh Pertamina.