Bisnis.com, JAKARTA - Emiten BUMN pertambangan batu bara, PT Bukit Asam Tbk., menganggap bisnis konversi batu bara ke gas atau gasifikasi sangat propektif bagi perusahaan.
Pasalnya, PTBA dapat memanfaatkan cadangan batu bara kalori rendah yang kurang laku di pasaran. Saat ini, PTBA memiliki cadangan batu bara sekitar 3 miliar ton, dimana 2 miliar ton merupakan kalori rendah, sedangkan 1 miliar ton kalori tinggi.
"Saat ini yang bisa kita komersialisasi baru kalori tinggi 4.800 Kcal/kg, itu ada 1 miliar ton. Nah, yang 2 miliar ini bisa kita manfaatkan untuk gasifikasi," papar Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin, Senin (7/12/2020).
Pabrik penghiliran batu bara tersebut akan mengolah sebanyak 6 juta ton batu bara per tahun dan diproses menjadi 1,4 juta ton dymethil eter (DME) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti LPG. Adapun, harga jual batu bara kalori rendah berkisar US$20-US$21 per ton.
Artinya, dalam setahun PTBA berpotensi mendapat tambahan pendapatan dari penjualan batu bara kalori rendah sekitar US$120 juta atau Rp1,69 triliun (kurs Rp14.100).
Hadirnya DME sebagai bahan bakar alternatif bisa membantu menekan impor LPG dan menghemat devisa negara. Berdasarkan hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, potensi penghematan negara bisa mencapai Rp8,7 triliun.
Baca Juga
Menurut Arviyan, harga jual DME nantinya bisa senilai US$420 per ton. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata harga LPG sekitar US$568 per ton.
Namun demikian, pihaknya menunggu adanya payung hukum regulasi agar pemerintah dapat mengalihkan subsidi dari LPG ke DME.
"Karena baik DME maupun LPG membutuhkan subsidi. Bedanya LPG ini subsidinya variabel, sedangkan DME kita upayakan fix," imbuhnya.
Arviyan pun menargetkan penandatanganan kontrak kerja sama dalam bentuk Build Operate Transfer (BOT) terkait proyek gasifikasi batu bara pada Desember 2020.
BOT adalah suatu bentuk kerjasama anatara para pihak dimana suatu objek dibangun, dikelola atau dioprasikan selama jangka waktu tertentu lalu diserahkan kepada pemilik asli.
Arviyan mengatakan bahwa perseroan tengah menyiapkan kerja sama proyek gasifikasi batu bara dengan AirProduct dan Pertamina. Skema kerja sama yang dilakukan dalam bentuk BOT.
“Kami harapkan Desember ini bisa tanda tangan kerja sama dengan mitra [Pertamina dan AirProduct],” ujarnya.
Untuk diketahui, emiten berkode saham PTBA itu tengah mengembangkan penghiliran batu bara dengan membangun pabrik pemrosesan batu bara menjadi DME yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Persiapan konstruksi proyek hilirisasi direncanakan dimulai pada pertengahan 2021 dan target operasi pada kuartal II/2024.
Adapun, total investasi proyek tersebut sebesar US$2,1 miliar atau sekitar Rp29,68 triliun dengan asumsi kurs Jisdor pada Senin (7/12/2020) di posisi Rp14.135 per dolar AS.
Arviyan menuturkan bahwa nilai investasi tersebut sepenuhnya atau 100 persen akan ditanggung oleh Air Product, sedangkan PTBA bertanggung jawab menyuplai kebutuhan batu bara untuk DME, dan Pertamina akan bertindak sebagai pembeli produk DME.
Dengan demikian, PTBA tidak akan menanggung beban risiko finansial dan konstruksi. Namun, PTBA memiliki opsi untuk mendapatkan saham setelah proyek tersebut beroperasi dan menghasilkan gas selama 1 tahun.
"Risiko konstruksi dan finansial ada di investor. Setelah 1 tahun operasi, yakni pada 2025, kita punya opsi beli saham [proyek DME] hingga 40 persen. Setelah itu, dalam 20 tahun pabrik ini akan dimiliki oleh JV [joint venture] PTBA dan Pertamina," ujar Arviyan.