Bisnis.com, JAKARTA - Investasi emas fisik via digital sekarang sedang menjadi tren. Meski demikian, masyarakat tetap diminta waspada, karena kondisi seperti ini sering dimanfaatkan lembaga investasi tidak berizin alias bodong.
Emas menjadi instrumen investasi yang sangat menarik saat ini, karena harganya meningkat. Seiring dengan itu, pesatnya perkembangan teknologi turut mendorong hadirnya investasi emas secara digital.
Praktisi Hukum Bisnis Andy R. Wijaya mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam berinvestasi. Dia memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan sebelum memutuskan berinvestasi.
"Pertama, masyarakat selaku investor kalau mau berinvestasi harus di lembaga investasi yang mendapat izin dari OJK," kata Andy seperti dikutip, Sabtu (14/11/2020).
Menurutnya sebagus apapun lembaga investasi atau setinggi apapun keuntungannya kalau tidak ada izin dari OJK, maka ada potensi penipuan.
Kedua, jangan tergiur dengan profit yang tinggi. Masyarakat mesti tahu bahwa profit tinggi selalu diiringi risiko yang juga tinggi.
"Maka jika ada janji keuntungan tinggi apalagi flat tiap bulan, pasti bohong. Investasi emas digital di pasar bursa berjangka keuntungannya tidak bisa flat," ujar Andy.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menyebutkan bahwa kunci dalam berinvestasi adalah logis dan legal.
Logis artinya adalah dapat dinilai dari tawaran investasinya. "Kalau tidak masuk akal, bahkan dua kali dari deposito maka berhati-hati dan legal harus dicek izin usaha dari OJK,” ujar Hoesen.
Hoesen mengatakan, modus penipuan investasi yang saat ini banyak ditemukan seperti penghimpunan dana, terlebih yang berbasis online. Lalu, modus kegiatan penasihat investasi yang ternyata tidak memiliki izin dari OJK.
Mengutip dari laman resmi OJK, ciri utama penipuan berkedok investasi adalah tidak dimilikinya dokumen perizinan yang sah dari regulator (pengawas) terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Bappebti-Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lain-lainnya.
Pada umumnya, perusahaan penipu berbentuk badan usaha seperti perseroan terbatas (PT) atau koperasi simpan pinjam dan hanya memiliki dokumen akta pendirian/perubahan perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Keterangan domisili dari lurah setempat, dengan legalitas usaha berupa Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, diatur bahwa perusahaan dilarang menggunakan SIUP untuk melakukan kegiatan menghimpun dana masyarakat dengan menawarkan janji keuntungan yang tidak wajar (money game).
Pada beberapa kasus, ditemukan pula perusahaan pengerah dana masyarakat yang mengakui dan menggunakan izin usaha perusahaan lainnya dalam operasinya.