Bisnis.com, JAKARTA — Ancaman Badai Laura yang menghantam Teluk Meksiko gagal membuat kenaikan signifikan terhadap harga minyak untuk menembus level US$43 per barel.
Padahal, Teluk Meksiko adalah salah satu wilayah penghasil minyak mentah dan gas alam utama di Amerika Serikat (AS). Sumur lepas pantai Teluk Meksiko di AS menyumbang 17 persen dari total produksi minyak mentah negara itu dan 5 persen dari total produksi gas alam AS.
Umumnya, badai di kawasan itu akan memacu harga bensin dan harga minyak mentah untuk melonjak tinggi karena ancaman tekanan pasokan.
Seperti yang terjadi pada tahun lalu, saat Badai Dorian yang menghantam Teluk Meksiko pada Agustus membuat harga minyak terapresiasi hingga 4,8 persen sepanjang pekan. Kemudian, Badai Tropis Barry yang menghantam wilayah yang sama pada Juli membuat harga minyak naik 3,89 persen dalam sepekan.
Namun, Badai Laura hanya membuat harga minyak menguat 0,8 persen sepanjang pekan lalu. Kedua jenis minyak mentah dunia bahkan diperdagangkan dalam kisaran sempit saat Badai Laura menerobos Teluk Meksiko.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (28/8/2020), harga minyak jenis WTI untuk kontrak Oktober 2020 di bursa Nymex melemah 0,16 persen ke level US$42,97 per barel.
Baca Juga
Harga minyak WTI sempat menguat sesaat sebelum badai karena pasar bersiap untuk dampak pasokan dari badai itu. Harga sempat menyentuh level tertinggi dalam 5 bulan terakhir pada perdagangan Rabu (26/8), yaitu US$43,39 per barel, sebelum akhirnya kembali melemah pada hari perdagangan setelahnya.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent di bursa ICE untuk kontrak November 2020 menguat 0,46 persen ke level US$45,81 per barel.
Padahal, Badai Laura telah menutup enam kilang pesisir pada pekan lalu. Sebesar 82 persen produksi minyak di Teluk Meksiko dihentikan sejak Senin (24/8) siang waktu AS, dan menutup sekitar 57 persen produksi gas alam di wilayah itu.
Sejumlah perusahaan energi AS pun bergegas mengantisipasi ancaman badai tersebut. Motiva Enterprises LLC, perusahaan produsen minyak asal AS, menutup kilang minyak berkapasitas 607.000 barel per hari dan pabrik kimia di Port Arthur, Texas.
Valero Energy Corp. juga menutup fasilitas Port Arthur berkapasitas 335.000 barel per hari. Bahkan, produsen ternama, Total SE, pun memotong produksi minyak mentah lebih dari 50 persen, sekitar 225.500 barel per hari, di kilang wilayah itu.
Sementara itu, Exxon Mobil Corp. tengah mempersiapkan unit produksi untuk kemungkinan penutupan di kilang Beaumont berkapasitas 369.000 barel per hari, meskipun operasi hilirnya normal.
Kepala Strategi Komoditas TD Securities Bart Melek mengatakan Badai Laura bertepatan dengan pandemi yang mematikan permintaan sehingga mendorong pasokan bensin dan persediaan minyak mentah ke level tertinggi selama tahun ini dalam data selama 3 dekade.
“Harga akan terus didorong oleh sentimen persediaan dan gagasan bahwa OPEC+ memiliki kapasitas cadangan, yang dapat digunakan untuk mengimbangi pertumbuhan permintaan setelah Covid-19 juga membayangi harga,” paparnya seperti dilansir Bloomberg, Minggu (30/8).
Sementara itu, VP Stratas Advisors LLC Houston Jaime Brito menerangkan sentimen Badai Laura yang seharusnya menjadi katalis positif terhadap harga minyak hilang dengan cepat. Badai pun terjadi dalam jangka waktu yang lebih pendek daripada ekspektasi pasar.
“Oleh karena itu, kerusakan jangka menengah menjadi jauh lebih sedikit dari yang diproyeksi pasar dari badai sebesar ini pada umumnya,” ujarnya.
Sementara itu, menurut data yang dirilis oleh Departemen Dalam Negeri AS, perusahaan energi AS secara bertahap terus mengisi kembali fasilitas produksi minyak dan gas lepas pantai di Teluk Meksiko setelah Badai Laura menyerang, Sabtu (29/8).
Sudah terdapat 122 fasilitas yang digunakan memiliki penghuni, kembali diisi oleh para awak hingga Sabtu tengah hari untuk bersiap kembali beroperasi. Sisanya, sebanyak 189 platform atau rig pengeboran di Teluk Meksiko AS tetap tak berawak.
Kembalinya para awak itu pun lebih cepat daripada perkiraan pasar. Namun, produksi minyak mentah turun di kawasan itu sebesar 82 persen, atau 1,5 juta barel per hari dan produksi gas alam turun 59 persen atau 1,6 miliar kaki kubik per hari.
Ekonom Oversea-Chinese Banking Corp. di Singapura Howie Lee mengungkapkan potensi kehilangan pasokan di Teluk Meksiko adalah sekitar 2 persen dari produksi AS. Dengan demikian, ancaman penghentian produksi itu tidak menjadi katalis cukup kuat untuk menopang harga bergerak lebih tinggi lagi.
“Mungkin harga dalam beberapa perdagangan ke depan akan lebih didukung oleh berita vaksin atau permintaan bensin yang mulai pulih,” ungkapnya.
Di sisi lain, Tim Riset Monex Investindo Futures menyampaikan harga minyak berpotensi menguji level support US$42,75 dalam jangka pendek karena gelombang Badai Laura tidak menyerang Teluk Meksiko sekuat yang diperkirakan.
“Penurunan lebih lanjut dari level support tersebut berpotensi menekan harga minyak menguji level support selanjutnya di US$42,55 per barel dan US$42,35 per barel,” tulis tim riset Monex Investindo Futures seperti dikutip dari publikasi risetnya, Minggu (30/8).
Namun, jika harga mampu bergerak naik, maka berpeluang menguji level resisten di US$43,30 per barel dan kenaikan lebih lanjut dari level resisten itu berpotensi menopang harga minyak menguji level resisten berikutnya di US$43,55 per barel dan US$43,75 per barel.