Bisnis.com, JAKARTA - PT Barito Pacific Tbk. membukukan penurunan kinerja keuangan pada sepanjang paruh pertama tahun ini.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan, emiten berkode saham BRPT itu membukukan rugi bersih sebesar US8,8 juta pada semester I/2020, berbanding terbalik dengan kinerja semester I/2020 yang mencetak laba bersih sebesar US$10,91 juta.
Adapun, pelemahan kinerja itu sejalan dengan penurunan pendapatan sebesar 15,05 persen menjadi sebesar US$1,1 miliar dibandingkan dengan pendapatan periode yang sama tahun lalu sebesar US$1,3 miliar.
Hal itu disebabkan oleh menurunnya pendapatan dari sektor petrokimia seiring dengan harga rata-rata penjualan produk sektor itu khususnya Olefins dan Polyofelins dengan volume penjualan yang relatif stabil.
Selain itu, EBITDA perseroan juga turun 32,1 persen dari US$321 juta pada semester I/2019 menjadi US$218 juta pada semester I/2020 yang utamanya disebabkan oleh menurunnya keuntungan dari kegiatan petrokimia akibat penurunan permintaan global terhadap produk petrokimia.
Direktur Keuangan Barito Pacific David Kosasih mengatakan bahwa sesungguhnya sektor petrokimia, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA), telah mencatatkan perbaikan kinerja pada kuartal kedua dibandingkan dengan kuartal sebelumnya seirin dengan peningkatan permintaan terutama untuk produk polymer seiring dengan meningkatnya aktivitas industri terutama di China dan NEA.
“Selain itu, penurunan harga naphtha seiring dengan penurunan harga minyak mentah juga berkontribusi terhadap meningkatnya spread bagi produk polymer. Kami berharap kondisi ini dapat terus berlanjut pada paruh kedua 2020,” ucap David seperti dikutip dari keterangan resminya, Kamis (30/7/2020).
David pun mengatakan bahwa pihaknya masih melihat pasar petrokimia Indonesia di masa mendatang tetap memberikan peluang yang menjanjikan kendati saat ini dihadapi banyak tantangan bisnis.
Di sisi lain, David menambahkan, kinerja Barito Pacific juga masih akan dibantu oleh anak usaha di sektor energi terbarukan, Star Energy (SE). Sektor itu terus memberikan tingkat pendapatan dan EBITDA yang stabil serta tren peningkatan keuntungan bersih sejalan dengan menurunnya pengeluaran untuk pembayaran bunga pinjaman dari waktu ke waktu.
Lebih lanjut, ketiga aset milik Star Energy yang beroperasi, yaitu Wayang Windu, Salak dan Darajat menunjukkan tingkat kapasitas lebih dari 90 persen.
“Star Energy terus memberikan stabilitas bagi kinerja perseroan. Saat ini Star Energy merupakan perusahaan pengelola panas bumi terbesar di Indonesia dengan kapasitas sebesar 875 Megawatt (MW) dan berencana untuk menambah kapasitas sampai dengan 1200 MW dalam 10 tahun mendatang,” papar David.