Bisnis.com, JAKARTA — Dua emiten BUMN, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. akan segera mendapatkan suntikan dana segar dari pinjaman pemerintah untuk menjaga nafas perusahaan di tengah terpaan pandemi Covid-19.
Komisi VI DPR RI telah menyetujui usulan dana pinjaman dari pemerintah dengan total senilai Rp11,5 triliun dalam rapat yang berlangsung Rabu (16/7/2020). Dana itu rencananya akan diberikan kepada Krakatau Steel Rp3 triliun dan Garuda Indonesia Rp8,5 triliun.
Komisi VI DPR RI menyetujui usulan dana itu dengan sejumlah catatan. Salah satunya pemberian dana pinjaman pemerintah itu dalam bentuk mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi (OWK).
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengungkapkan dana itu akan digunakan untuk menjaga industri hilir dan industri pengguna baja agar dapat tetap beroperasi. Produk yang dihasilkan perseroan sebagai industri hulu merupakan bahan baku untuk industri hilir atau pengguna.
“Kami tidak ingin pasar Indonesia dimasuki produk impor karena industri hilir kesulitan,” ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Silmy mengungkapkan pemberian dana pinjaman itu bertujuan mendukung program pemerintah yakni pemulihan ekonomi nasional (PEN). Emiten berkode saham KRAS itu juga mengambil momentum untuk memperkuat industri baja dari hulu hingga hilir sehingga kinerja perseroan semakin membaik ke depan.
Baca Juga
“[Dari sisi penguatan keuangan] ini juga memberikan keleluasaan untuk KRAS dalam mengelola dana sehingga akan semakin efisien,” tuturnya.
Dia meyakini KS akan semakin efisien dalam hal pengelolaan biaya setiap tahun. Dengan demikian, margin keuntungan akan bertambah dan harga menjadi semakin kompetitif.
Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, KRAS melaporkan laba bersih US$74,1 juta pada kuartal I/2020. Pencapaian itu pertama kalinya dalam 8 tahun terakhir.
Produsen baja milik negara itu melaporkan penurunan beban pokok sebesar 39,8 persen dan biaya administrasi dan umum sebesar 41,5 persen. Biaya operasi induk juga tercatat turun 31 persen menjadi US$46,8 juta dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan bahwa perseroan membutuhkan pembiayaan sebesar Rp9,5 triliun untuk membiayai operasional. Maskapai pelat merah itu mengharapkan dana talangan dari pemerintah dalam bentuk MCB senilai Rp8,5 triliun untuk dapat menjaga likuiditas dan solvabilitas pada 2020—2023.
“Kalau pinjaman ini tidak ada akan sangat menganggu penerbangan,” jelasnya di sela-sela rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, pekan lalu.
Irfan menyebut pandemi Covid-19 telah membuat pendapatan perseroan hingga turun 90 persen. Di sisi lain, perseroan hanya mampu menurunkan biaya operasional sebesar 60 persen.
Pada 1 Juli 2020, emiten berkode saham GIAA itu melaporkan cash flow yang ada di perusahaan hanya sekitar US$14,5 juta. Sementara itu, sementara pinjaman ke bank dan lembaga keuangan senilai US$1,3 miliar dan utang usaha serta pajak US$905 juta.
Setelah tiga tahun, ada beberapa skema penyelesaian MCB yang disiapkan perseroan. Pertama, perusahaan membayar dana talangan tersebut.
Asumsi yang dimasukan dalam skema pertama yakni jumlah penumpang pada 2021 50 persen dibandingkan dengan 2020 dan 70 persen pada 2022. Dengan perhitungan itu, Manajemen GIAA meyakini mampu membayar MCB.
Skema kedua, apabila perusahaan tidak memungkinkan melakukan pembayaran, penggalangan dana segar dari pasar menjadi andalan pada 2023.
Konsensus para analis menyebut industri kembali menarik dalam 3 tahun mendatang sehingga terbuka peluang bagi perusahaan untuk mengeluarkan obligasi dan melunasi MCB.
GIAA juga juga telah memiliki opsi terakhir apabila dua skema itu tidak berjalan mulus. Dari kesepakatan pemegang saham, perseroan mendapat informasi pilihan terakhir yakni konversi MCB menjadi penempatan dana dari pemerintah.
“Kapitalisasi pasar GIAA berkisar USS500 juta dan Rp8,5 triliun itu sekitar US$600 juta. Apabila ini menjadi penempatan modal, seluruh minoritas apabila tidak terlibat bukan terdilusi, tetapi ke-wipes karena jumlah dana yang dimasukkan lebih besar daripada market cap Garuda,” paparnya.
RASIO UTANG
Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai dana talangan bagi KRAS dan GIAA akan membuat kondisi cash flow membaik. Artinya, kucuran itu dapat digunakan oleh kedua perseroan sebagai modal kerja.
Aria menilai MCB atau OWK sebagai salah satu alternatif terbaik karena memang akan berbentuk utang dan mempengaruhi rasio utang pada awalnya. Namun, ketika dieksekusi menjadi kepemilikan saham, maka akan langsung membuat rasio utang membaik.
“Pemegang saham minoritas di satu sisi diuntungkan dengan likuiditas lebih baik di sisi lain memang ada potensi terdilusi secara total kepemilikan saat konversi dilakukan,” jelasnya.
Associate Director BUMN Research Group (BRG) LM-Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai skema MCB sebagai pesimisme KRAS dan GIAA akan perbaikan prospek beberapa tahun ke depan. Akan tetapi, struktur itu menurutnya paling mungkin dijalankan agar keduanya tidak ambruk di tengah terpaan pandemi Covid-19.
“Karena mereka berdua perusahaan terbuka jadi kontrol publik bisa lebih leluasa untuk memonitor langkah perbaikan kinerja yang mereka jalankan,” jelasnya.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wiraatmadja mengatakan saat ini pihaknya tengah berdiskusi dengan Kementerian Keuangan untuk mencari skema yang tepat untuk pemberian dana pinjaman kepada KRAS dan GIAA. Salah satu opsi yang dipertimbangkan yakni two step loan.
Kartika menjelaskan dengan skema itu dana pemerintah akan diberikan kepada BUMN yang ada di bawah Kementerian Keuangan. Sebagai gambaran, dana akan diberikan melalui PT Sarana Multi Infrastuktur (SMI) untuk kemudian disalurkan kepada BUMN yang dituju.