Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mendekati level US$42 per barel seiring dengan ekspektasi terhadap peningkataan permintaan walaupun angka kasus positif Covid-19 terus bertambah.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (22/6/2020), sejumlah sentimen positif mengiringi reli harga minyak, salah satunya adalah upaya OPEC dan negara-negara pengekspor minyak untuk menyeimbangkan pasar minyak.
Produksi minyak dari OPEC pada Mei yang turun ke angka 24,19 juta barel dari 30,5 juta per barel pada bulan April kian menguatkan sentimen tersebut.
Harga minyak mengalami kenaikan pada tujuh dalam delapan minggu terakhir dengan analis dari Vitol Group dan Trafigura group mengatakan permintaan minyak mengalami kenaikan setelah pembukaan kembali kegiatan ekonomi di beberapa negara.
Chief Market Strategist di AxiCorp Ltd., Stephen Innes mengatakan, ada dukungan yang baik dari kenaikan permintaan ini, meskipun ambisi bullish tersebut dapat tertekan oleh penyebaran virus corona.
“Hal terpenting saat ini adalah apakah pemerintah-pemerintah akan kembali memberlakukan lockdown secara ketat. Melihat dari situasi sekarang, kemungkinan ini tidak akan terjadi, sementara kebijakan karantina di wilayah dengan lonjakan kasus seperti Beijing masih mungkin diberlakukan,” jelasnya.
Baca Juga
Sementara itu, negara bagian California melaporkan lonjakan kasus positif virus corona yang melebihi rata-rata kasus mingguan di Florida. Hal serupa juga telah terjadi di Beijing, China pada pekan lalu.
DI sisi lain, eksplorasi minyak di AS juga menyusut dalam 14 minggu beruntun, dengan jumlah kilang minyak yang beroperasi pada angka terendah sejak 2009. Berdasarkan data dari Baker Hughes, jumlah pengeboran minyak yang beroperasi ada 189 buah setelah 10 pusat pengeboran minyak lain ditutup.