Bisnis.com, JAKARTA - Kebutuhan dana mendesak untuk melunasi utang disebut menjadi pendorong rencana penerbitan obligasi yang marak di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Berdasarkan data Pefindo per akhir April 2020, mandat yang diterima perusahaan pemeringkat tersebut tercatat sebanyak 55 rencana emisi dengan total nilai Rp71,28 triliun.Jumlah tersebut naik jika dibandingkan data per akhir Februari 2020 yang mana Pefindo baru menerima 50 rencana emisi dengan nilai Rp64,18 T.
Namun, secara keseluruhan hingga akhir 2020, Pefindo merevisi target mandat pemeringkatan tahun ini yang semula Rp154,5 triliun menjadi Rp116 triliun.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan revisi target emisi yang dilakukan Pefindo adalah wajar. Dia beralasan keperluan korporasi untuk menerbitkan surat utang akan berkurang di tengah situasi ekonomi yang seperti saat ini.
Ramdhan menyebut biasanya ada dua alasan utama korporasi menerbitkan surat utang, yakni untuk penambahan modal ekspansi dan membayar utang lain yang jatuh tempo alias refinancing.
“Nah untuk ekspansi rasanya kan perusahaan pasti tidak akan ekspansi tahun ini, karena ekonomi melambat, daya beli masyarakat juga kurang. Jadi mereka tidak akan menerbitkan obligasi, kecuali ada kebutuhan refinancing,” tuturnya kepada Bisnis, Jumat (8/5/2020)
Baca Juga
Dengan kata lain, perusahaan yang memiliki utang jatuh tempo sedang berada dalam kondisi butuh uang atau ‘BU” untuk melunasi utangnya. Tak ayal obligor akan berupaya menggalang dana guna melunasi utang lama dengan utang baru.
Dia memperkirakan hampir seluruh penerbit surat utang pada tahun ini terkait dengan kebutuhan pendanaan untuk membayar kewajiban. Pasalnya, di tengah kondisi seperti ini meraup dana segar dari obligasi dinilai sebagai solusi.
Sebagai contoh dia menyebut dua emiten yang belum lama ini menawarkan obligasi berkelanjutan yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. dan PT Bali Towerindo Sentra Tbk. (BALI) yang sama-sama menerbitkan obligasi untuk membayar utang atau kewajiban mereka.
“Emiten tidak punya banyak cara untuk mendapatkan uang dari pihak ketiga. [Meminjam] ke bank juga akan sulit,” katanya.
Lebih lanjut Ramdhan menyebut kebutuhan refinancing ini bukan hanya bagi mereka yang memiliki surat utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat, tapi terjadi juga bagi emiten yang butuh dana untuk membayar bunga obligasinya.
Alasannya, kata Ramdhan, wabah Covid-19 membuat arus kas banyak perusahaan terganggu, termasuk untuk kebutuhan rutin seperti pembayaran bunga. Walhasil mau tak mau perusahaan harus berutang dengan menerbitkan obligasi baru walaupun meski cost of fund atau biaya dananya tinggi karena yield acuan saat ini juga cukup tinggi.
Sebagai informasi, berdasarkan data asianbondsonline.com per 7 Mei 2020, tingkat yield surat berharga negara bertenor 10 tahun yang biasa dijadikan acuan untuk kupon obligasi tercatat berada di level 8,12 persen, sedangkan untuk tenor 2 tahun ada di level 6,44 persen.