Bisnis.com, JAKARTA - Emiten tambang emas diprediksi tetap mendapatkan tekanan untuk mencatatkan kinerja yang ciamik pada tahun ini meskipun harga emas diproyeksi semakin melejit.
Terpuruknya harga komoditas logam dasar menjadi salah satu pemicu tekanan emiten tambang yang memproduksi emas.
Untuk diketahui, pada 2019 sejumlah emiten berhasil mencatatkan kinerja pendapatan cukup impresif seiring dengan harga komoditas emas yang mengilap akibat sentimen perang dagang antara AS dan China.
Sepanjang tahun lalu harga emas berhasil terapresiasi sebesar 18 persen. Sejalan dengan hal itu, emiten emas seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk. berhasil mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 36 persen secara year on year menjadi US$402,03 juta.
Selain itu, PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) mencatatkan penjualan sebesar Rp32,7 triliun pada 2019, lebih tinggi 29,4 persen dibandingkan dengan perolehan pada 2018.
Proyeksi harga emas bullish pun berlanjut hingga tahun ini seiring dengan sentimen pandemi Covid-19. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga emas di pasar spot telah terapresiasi 13,84 persen dan parkir di level US$1.735,6 per troy ounce. Adapun, tahun ini emas sempat menyentuh level tertinggi US$1.788,8 per troy ounce.
Baca Juga
Kendati demikian, prospek harga emas yang semakin silau itu tidak serta merta membuat kinerja emiten emas akan moncer pada tahun ini.
Mengutip riset PT Ciptadana Sekuritas Asia, pandemi Covid-19 telah melemahkan harga tembaga yang juga menjadi salah satu hasil tambang MDKA. Pada tahun ini, harga tembaga sempat jatuh ke level US$4.371 per ton dan telah bergerak melemah sekitar 16,53 persen secara year to date.
Tambang PT Merdeka Copper Gold Tbk.
Analis Ciptadana Sekuritas Asia Thomas Radityo mengatakan bahwa akibat hal itu, pihaknya menurunkan average selling price (ASP) tembaga MDKA sekitar 2,6-4,8 persen di kisaran US$5.725-US$6.000 per ton. Produksi MDKA pun diprediksi melemah, yaitu turun 8,3 persen untuk emas dan 35 persen untuk tembaga.
“Lebih lanjut, kami mempertahankan proyeksi beban pendapatan dan operasional, tetapi meningkatkan proyeksi tarif pajak menjadi 36 persen yang menyebabkan estimasi penghasilan kami untuk MDKA turun 36,4 persen dari perkiraan sebelumnya,” ujar Thomas seperti dikutip dari risetnya, Minggu (26/4/2020).
Thomas memprediksi MDKA akan mencatatkan pendapatan yang lebih rendah tahun ini sebesar US$365 juta dan laba yang juga turun menjadi US$60 juta dari perolehan tahun sebelumnya.
Sementara itu, Analis Sucor Sekuritas Hasan mengatakan dalam publikasi risetnya bahwa harga nikel yang juga terpapar sentimen pandemi Covid-19 akan menjadi tekanan terhadap kinerja ANTM di tengah naiknya harga emas.
Sepanjang tahun berjalan 2020, harga nikel di bursa London telah melemah 14,37 persen dan parkir di level US$12.260 per ton meskipun prospek jangka panjang nikel tetap bullish dibantu peningkatan permintaan bahan baku baterai kendaraan listrik.
Pada pertengahan perdagangan tahun ini, harga nikel sempat menyentuh level US$10.867 per ton. Akibat hal itu, perkiraan ASP nikel untuk ANTM pun diturunkan sebesar 13,3 persen pada tahun ini.
“Dengan latar belakang negatif ini, kami memangkas prediksi pendapatan tahun 2020 sebesar 7,5 persen menjadi Rp30,52 triliun dan kami memproyeksi ANTM dapat membukukan rugi bersih Rp891 miliar pada tahun ini,” tulis Hasan dalam publikasi risetnya, dikutip Minggu (26/4/2020).
Di sisi lain, kenaikan harga emas tahun ini justru akan menjadi berkah bagi emiten tambang konglomerasi Astra PT United Tractors Tbk. (UNTR) di tengah landainya harga batu bara dan lemahnya penjualan alat berat.
Tambang Martabe
Pada tahun lalu saja, segmen pertambangan emas berhasil membatasi penurunan pendapatan perseroan yang melemah tipis 0,2 persen yoy menjadi Rp84,4 triliun. Anak usaha, PT Agincourt Resources (PTAR) yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Sumatera Utara berkontribusi pendapatan senilai Rp7,9 trliun.
Mengutip riset JP Morgan, ASP emas yang akan lebih tinggi pada tahun ini akan meningkatkan kontribusi segmen tambang emas terhadap keseluruhan pendapatan perseroan yang masih akan ditekan fluktuasi harga batu bara dan penjualan alat berat yang belum juga akan membaik.
JP Morgan memproyeksi kontribusi segmen pertambangan emas akan naik menjadi 11 persen pada pendapatan UNTR daripada kontribusi sebelumnya sebesar 9 persen, sedangkan untuk laba bersih kontribusi segmen tambang emas akan naik menjadi 19 persen daripada 17 persen pada kontribusi tahun sebelumnya.
Sementara itu, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan bahwa saham-saham emiten emas akan lebih bergairah pada enam bulan hingga satu tahun ke depan dibandingkan dengan pergerakannya saat ini.
Hal itu disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang sempat menghilangkan sifat emas sebagai aset safe haven karena kecenderungan investor mencari likuiditas besar-besaran yang menyebabkan aksi jual untuk semua aset untuk mendapatkan dolar AS lebih banyak.
Oleh karena itu, harga emas sempat fluktuatif yang juga berimbas terhadap saham-saham emiten emas.
“Ketika pasar dibayangi resesi global pasca pandemi Covid-19 dengan banyak data ekonomi dari seluruh negara yang anjlok, emas pasti akan lebih naik dibandingkan dengan saat ini sehingga saham-saham emiten emas pun akan ikut lebih mengiilap pada tahun depan,” ujar Hans Kwee.