Bisnis.com, JAKARTA – Moody’s Investor Service menyematkan peringkat yang lebih rendah terhadap PT Gajah Tunggal Tbk. karena terpapar eksposur risiko pelemahan nilai tukar rupiah secara berkepanjangan.
Moody’s menurunkan peringkat corporate family rating (CFR) PT Gajah Tunggal Tbk. dari B3 menjadi Caa1. Moody’s juga menurunkan peringkat utang sindikasi perbankan senilai US$250 juta yang akan jatuh tempo pada Agustus 2022 menjadi Caa1. Adapun, outlook yang disematkan tetap negatif.
Analis Moody’s Stephanie Cheong mengatakan bahwa revisi peringkat ini merefleksikan ekspektasi terhadap kinerja emiten berkode saham GJTL tersebut yang akan terhantam pelemahan nilai tukar.
“Berdasarkan ekspektasi kami, GJTL secara umum tidak memitigasi eksposur pelemahan kurs rupiah yang jika terus terjadi akan meningkatkan utang dan menurunkan margin EBITDA perseroan,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi, Selasa (31/3/2020).
Dia mengatakan bahwa jika nilai tukar rupiah terus memburuk, maka profitabilitas dan arus kas perseroan akan terganggu. Hal ini juga akan membuat perseroan kian bergantung pada sumber pendanaan jangka pendek.
Pendapatan Gajah Tunggal hampir seluruhnya didapatkan dalam denominasi rupiah, sementara hampir seluruh biaya bahan material kasarnya didapatkan dalam dolar AS. Selain itu, hampir seluruh utang perseroan juga dicatatkan dalam denominasi dolar.
Baca Juga
Dengan tren rupiah yang terus melemah karena keluarnya arus modal portofolio belakangan ini, Moody’s memperkirakan setiap 10 persen penurunan kurs rupiah akan menurunkan margin earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) perseroan sebesar 2 persen.
Dari sisi liabilitas, perseroan juga memiliki utang jangka panjang senilai US$397 juta. Namun, perseroan hanya memberlakukan lindung nilai atau hedging terhadap utang senilai US$184 juta.
Lindung nilai itu juga hanya melindungi hingga nilai Rp14.811 per dolar AS. Persoalan utang juga akan bertambah rumit mengingat beban bunga tidak mendapatkan lindung nilai.
“Terlebih, GJTL sangat bergantung pada pinjaman modal kerja jangka pendek, yang mayoritas akan jatuh tempo pada Agustus 2020. Volatilitas pasar modal saat ini juga akan memperberat risiko refinancing pinjaman tersebut,” tambahnya.
Moody’s memperkirakan posisi kas bersih dari aktivitas operasi dalam 12 bulan ke depan akan mencapai US$30 juta. Perseroan juga memiliki kas sebesar US$46 juta berdasarkan laporan keuangan per September 2019.
Namun, posisi kas tersebut dinilai tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja modal senilai US$30 juta dan amortisasi pinjaman bank yang mencapai US$53 juta.
Perseroan juga tercatat memiliki total pinjaman modal kerja jangka pendek sebesar US$86 juta yang mayoritas akan jatuh tempo pada Agustus 2020.
Di sisi lain ruang gerak perseroan untuk menarik kembali pinjaman akan semakin terbatas. Pasalnya, perseroan harus menjaga rasio net debt/EBITDA di level 4,5 kali dan rasio debt service coverage di level 1,05 kali sesuai dengan perjanjian dalam pinjaman sindikasi bank yang akan jatuh tempo Agustus 2022.
Hingga 30 September 2019, posisi kedua rasio tersebut adalah 4,02 kali dan 1,09 kali. Posisi kedua rasio itu menggambarkan bahwa perseroan tidak punya bantalan yang cukup kuat untuk menahan penurunan EBITDA ataupun kenaikan level utang karena depresiasi rupiah yang berkepanjangan.
Di sisi lain, rasio kovenan tersebut akan semakin ketat sesuai dengan perjanjian dalam sindikasi. Kedua rasio itu harus dijaga di bawah 4,35 kali dan 1,1 kali hingga Maret 2020.