Bisnis.com,JAKARTA – Diversifikasi bisnis di luar pertambangan PT Adaro Energy Tbk. menyelamatkan kinerja keuangan perseroan pada 2019 dan diyakini akan melindungi perseroan dari siklus industri batu bara ke depan.
Adaro Energy melaporkan laba periode berjalan US$435 juta pada periode 2019. Realisasi itu turun 9 persen dari US$478 juta per akhir Desember 2018.
Dari komposisi berdasarkan segmen usaha, bisnis pertambangan dan batu bara masih menjadi kontributor utama total laba periode berjalan perseroan periode 2019. Lini usaha itu menyumbangkan US$272 juta tahun lalu atau turun 47 persen dari US$512 juta pada 2018.
Di tengah penurunan bisnis batu bara perseroan, kontribusi segmen usaha lainnya terhadap laba periode berjalan justru mengalami peningkatan tajam. Kontribusi lini itu tercatat naik 163 persen secara tahunan menjadi US$197 juta pada 2019.
Kinerja Keuangan Adaro Energy 2019 (US$ juta) | |||
2019 | 2018 | Selisih % | |
Pendapatan Usaha Bersih | 3.457 | 3.620 | -5 |
Beban Pokok Pendapatan | (2.493) | (2.410) | 3 |
Laba Usaha | 618 | 892 | -31 |
Laba Inti | 635 | 728 | -13 |
EBITDA Operasional | 1.207 | 1.408 | -14 |
Total Aset | 7.217 | 7.061 | 2 |
Kas | 1.576 | 928 | 70 |
Utang Bersih | 375 | 414 | -9 |
Belanja Modal | 489 | 496 | -1 |
Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira menjelaskan bahwa kenaikan laba usaha di segmen usaha lainnya berasal dari pencapaian dan peningkatan kontribusi dari pilar-pilar bisnis di luar pertambangan. Lini usaha itu yakni logistik, power, dan air.
Febriati menuturkan emiten berkode saham ADRO itu telah melakukan diversifikasi bisnis melalui delapan pilar bisnis, yakni Adaro Mining, Adaro Services, Adaro Logistics, Adaro Power, Adaro Land, Adaro Water, Adaro Capital dan Adaro Foundation.
Baca Juga
Selain itu, lanjut dia, ADRO juga mengembangkan non coal power serta berbagai model bisnis energi alternatif yang mungkin akan berkembang pada masa depan.
Pihaknya mengklaim perseroan akan dapat mempertahankan profitabilitas tinggi di tengah kondisi pasar batu bara yang sulit dengan kekuatan model bisnis terintegrasi.
Febriati mencontohkan dimulainya operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 2x100 megawatt (MW) PT Tanjung Power Indonesia pada 2019. Langkah itu diyakini akan meningkatkan kontribusi pilar-pilar di luar pertambangan.
“Pada 2019, kontribusi dari pilar-pilar nonpertambangan Adaro terhadap EBITDA mencapai 50 persen,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (4/3/2020).
ADRO melaporkan realisasi pendapatan usaha US$3,46 miliar pada 2019. Pencapaian itu turun 5 persen dari US$3,62 miliar tahun sebelumnya.
Manajemen ADRO menyebut penurunan pendapatan terutama disebabkan oleh tergerusnya harga jual yang rerata turun 13 persen. Namun, penurunan itu mampu diimbangi dengan kenaikan penjualan batu bara sebesar 9 persen secara tahunan menjadi 59,19 juta ton pada 2019.
Adapun, ADRO melaporkan peningkatan produksi 7 persen menjadi 58,03 juta ton pada 2019. Realisasi itu melampaui panduan yang ditetapkan di kisaran 54 juta ton—56 juta ton.
Dari situ, ADRO membukukan laba bersih US$404,19 juta per 31 Desember 2019. Realisasi itu juga tergerus 3,23 persen dari US$417,72 juta tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, pencapaian laba bersih ADRO periode 2019 masih berada di bawah konsensus senilai US$470,67 juta. Namun, pendapatan yang dikantongi mampu melewati estimasi para analis senilai US$3,36 miliar.
Dalam siaran persnya, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Energy Garibaldi Thohir mengklaim perseroan masih mampu mencetak kinerja finansial yang solid berkat pertumbuhan volume tahunan yang tinggi. Selain itu, ADRO menurutnya mampu melakukan pengendalian biaya yang berkelanjutan.
“Kami memperkirakan pada 2020 pasar akan tetap sulit dan kami akan melanjutkan fokus terhadap upaya peningkatan keunggulan operasional, pengendalian biaya dan efisiensi, serta eksekusi strategi demi kelangsungan bisnis,” jelasnya.
Secara terpisah, Janson Nasrial, SVP Research Kanaka Hita Solvera menilai kinerja laba bersih ADRO pada sembilan bulan pertama 2019 terbilang baik. Earnings per share (EPS) Growth rata-rata sebesar 40 persen sementara pendapatan hanya tumbuh rerata 12 persen—14 persen.
“ADRO berhasil mengelola COGS dan operating expense. Di tengah kondisi harga komoditas yang sulit, efisiensi expense sangat penting,” paparnya.
Kendati demikian, Janson menyebut harga batu bara turun cukup dalam pada kuartal IV/2020. Kondisi itu mempengaruhi kinerja keuangan ADRO periode tersebut.
Di sisi lain, dia menyebut ADRO telah melakukan diversifiksi sumber pendapatan. Menurutnya, langkah itu telah membuahkan hasil.
Janson memberikan rekomendasi buy on weakness saham ADRO di level Rp1.150. Valuasi perseroan dinilai sudah sangat atraktif dengan price to book value (PBV) 0,7 kali.
Berdasarkan data Bloomberg, harga saham ADRO menguat 65 poin atau 5,70 persen ke level Rp1.205 pada sesi perdagangan, Rabu (4/3/2020). Kendati demikian, laju saham tercatat masih berada di teritori negatif untuk periode berjalan 2020 dengan koreksi 22,51 persen.